REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengamat Terorisme, Harits Abu Ulya, mengatakan pemerintahan Filipina terlalu prematur jika menyebut pelaku pemboman gereja di wilayah Jolo, Sulu, Filipina, adalah warga negara Indonesia (WNI). Ia menginginkan agar masyarakat Indonesia tidak terlalu berlebihan dalam meresponsnya.
“Statement dari Menteri Dalam Negeri Filipina, Eduardo Ano, yang notabene mantan petinggi militer dan Intelijen Militer Filipina itu, masih sebatas asumsi dan prematur jika bicara soal siapa pelakunya,” kata dia saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (3/2).
Sementara, kata dia, fakta di lapangan justru sebaliknya. Pihak keamanan negara tersebut, belum menemukan titik terang dan masih melakukan investigasi mendalam.
Selain itu, pihak keamanan Filipina juga masih dihadapkan pada spekulasi dua kemungkinan. Pertama, apakah peristiwa itu bom bunuh diri, atau dikendalikan via remot kontrol. “Ini juga belum ditemukan titik terang,” kata dia.
Pernyataan prematur semacam ini, juga pernah terjadi pda tahun lalu di akhir Juli 2018, terkait bom di sebuah pusat perbelanjaan wilayah Basilan Mindanao. Saat itu juga beredar informasi adanya keterlibatan WNI sebagai aktor. Dan pada akhirnya tidak terbukti.
“Sehingga pada kasus terbaru di Jolo-Sulu ini soal isu dua WNI sebagai aktor pemboman, juga sangat potensial hanya sebatas asumsi yang tidak ada benarnya,” ujar Harits.
Serangan bom dengan menarget gereja di wilayah Sulu memang baru pertama kali. Sulu mayoritas warganya adalah Muslim, dan biasanya serangan-serangan yang dilakukan targetnya adalah militer Filipina atau yang terkait. Namun kali ini adalah gereja, karena itu banyak muncul asumsi termasuk kemungkinan kelompok Abu Sayaf yang menjadi aktor.
Kemudian, pemboman ini dianggap identik dengan kasus bom gereja di Surabaya, Indonesia, beberapa bulan silam yang dikaitkan dengan kelompok pengikut ISIS di Indonesia sebagai aktor. Sementara kelompok Abu Sayaf sempat juga memproklamirkan baiatnya kepada Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Lalu, masuknya beberapa WNI yang memiliki ideologi perjuangan dengan kelompok Abu Sayaf ke Filipina dan terlibat menjadi combatan di Marawi. Dan pascamarawi, mereka masih ada yang menetap dan bergabung dengan kelompok Abu Sayaf. Termasuk adalah sisa-sisa orang lama (WNI) yang pernah ikut di kamp Hudaibiyah, dan bertempur bersama MILF, dan di kemudian hari ada yang pindah haluan ikut kelompok Abu Sayaf.
“Kemungkinan karena faktor tersebut yang memunculkan kesimpulan prematur dari pihak otoritas Filipina, soal kemungkinan keterlibatan dua WNI,” ucap Harits.
Ada juga fakta dimana militer dan intelijen Filipina lemah. Bahkan di wilayah Sulu, kata dia, faktanya militer dan intelijen Filipina tidak sepenuhnya menguasai atau mengendalikan dimana Sulu relatif homogen mayoritas bangsa Moro (Muslim) menjadi penduduknya.
Demikian juga Sulu menjadi basis dukungan yang cukup kuat untuk beragam kelompok pejuang bangsa Moro, baik dari faksi MILF, MNLF, bahkan juga sempalannya yaitu kelompok Abu Sayaf, juga mendapat tempat di hati masyarakat kawasan Mindanao Selatan.
“Saya melihat pihak otoritas Filipina menghadapi kesulitan yang cukup tinggi untuk identifikasi, mengurai menemukan master mind dari serangan kali ini. Karena kelompok Abu Sayaf terdiaspora dalam banyak faksi dengan jumlah kecil,” terang Harits.
Karena sejumlah alasan tersebut, ia meminta kepada masyarakat Indonesia untuk tidak berlebihan menanggapai isu keterlibatan dua WNI, pada kasus bom Gereja di Jolo-Sulu. Karena itu masih sebatas asumsi dan sangat spekulatif.
“Sebaiknya, masyarakat Indonesia perlu menunggu keterangan resmi dari Kementerian Luar Negeri RI setelah melakukan berbagai elaborasi dalam kasus ini,” kata Harits.