REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Wakil Presiden RI Jusuf Kalla (JK) membantah anggapan sejumlah pihak yang menilai Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) banyak disalahgunakan untuk kepentingan kekuasaan. Menurut JK, banyak juga kasus yang terjadi karena pasal di UU ITE, adalah kasus menyangkut orang per orang.
Karena itu, JK menilai pasal di UU ITE bisa mengancam semua orang jika ada pihak berkepentingan yang merasa dirugikan."Ada orang dengan orang, jadi kapan kekuasaan? tidak. Justru ada orang merasa dirinya dikenai, dirugikan, dia bisa melapor dan sama-sama, bukan pemerintah kan. Bukan kekuasaan, orang. Saya juga pernah, ya saya juga ke pengadilan," ujar JK di Kantor Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Rabu (6/2).
JK juga menanggapi tudingan banyaknya pasal karet dalam UU ITE. Menurut JK, ranah hukum yang harus menafsirkan pasal-pasal UU ITE agar tak menjadi pasal karet.
Karena Undang-undang kan apabila masuk ranah hukum haru melewati jaksa dan hakim. "Jadi yang harus menafsirkan itu supaya jangan jadi karet ya hakim. Jadi kita percayakan hakim untuk lebih bijaksana menghadapi itu," ungkapnya.
Sebab, JK menilai penafsiran orang atas suatu pasal dalam Undang-undang sangat subjektif. "Orang yang merasa tidak salah pasti mengatakan karet, tapi orang yang sebaliknya melaporkan ya (menganggapnya UU itu) benar. Jadi ada saja tafsir masing-masing," ujarnya.
Sebelumnya, Koordinator Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Dahnil Anzar Simanjuntak, menyatakan pihaknya mendorong adanya revisi terhadap Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Revisi perlu dilakukan lantaran UU ini banyak disalahgunakan untuk kepentingan kekuasaan.
"UU ITE ini menjadi perhatian khusus Prabowo-Sandi untuk direvisi karena korban utama UU ITE adalah masyarakat awam," kata Dahnil dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Selasa (5/2).
Dahnil beralasan mayoritas korban UU ITE yang berujung pada pidana adalah masyarakat awam dan kalangan aktivis. Sementara pelapornya mayoritas adalah pejabat negara. Jadi pejabat publik yang kemudian merasa martabatnya terganggu dengan kritik, bisa menggunakan UU ini untuk menjerat siapa pun.
"Data kita lebih dari 35 persen pelapor UU ITE itu adalah pejabat negara. Ini signal sederhana bahwa UU ITE menjadi alat buat pejabat negara membungkam kritik. Artinya sebagian besar pejabat kita punya kecenderungan anti kritik," kata Dahnil.
Kemudian Dahnil mencatat, sejak disahkan pada 2008, UU ITE banyak disalahgunakan dan banyak memakan korban saat Jokowi mulai memerintah di 2014. "Puncaknya adalah tahun 2016 ada 84 kasus dan tahun 2017 ada 51 kasus. Jadi, komitmen kita adalah merevisi UU ITE. Kita ingin stop pengbungkaman publik, dan kriminaslisasi," kata Dahnil.