REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati melihat pasal-pasal dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Permusikan memiliki masalah yang cukup banyak. Beberapa pasal bersifat karet karena memiliki makna yang sangat luas dan bisa diartikan berbeda.
"RUU Permusikan ini satu bagian dari pemberangusan kebebasan berkepresi di Indonesia," kata Asfinawati.
Salah satu pasal yang mendapatkan banyak sorotan adalah Pasal 5. Pasal tersebut berbunyi, "dalam melakukan Proses Kreasi, setiap orang dilarang: a. mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; b. memuat konten pornografi, kekerasan seksual, dan eksploitasi anak; c. memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok, antarsuku, antarras, dan/atau antargolongan; d. menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai agama; e. mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum; f. membawa pengaruh negatif budaya asing; g. dan/atau merendahkan harkat dan martabat manusia."
Asfinawati menjelaskan, pada Pasal 5 Poin A dan C menggunakan kata "dorong" dan kata "memprovokasi" pada beberapa kegiatan. Kata "dorong" ini memiliki arti yang sangat luas, karena bisa saja dikait-kaitkan dengan kegiatan tersebut, meski musisi itu tidak bermaksud untuk seperti itu.
"Mendorong dalam makna hukum itu adalah pasal karet, bisa saja ada yang menyanyi terus di luar sana ada ribut-ribut dan di sana bisa ada ancaman pidana," kata Asfinawati.
Pada poin F yang menyatakan tentang membawa pengaruh negatif budaya asing pun menjadi sebuah pertanyaan. Asfinawati menjelaskan, makna dari kalimat itu bisa jadi budaya asing memang sudah bernilai negatif, atau budaya asing apa yang memiliki nilai negatif.
Musik merupakan bentuk dari kebebasan berekspresi seseorang. Di Indonesia kebebasan mengutarakan pendapat telah terjamin dalam Undang-Undang. Keberadaan musik merupakan salah satu indikator demokrasi, menurut Asfinawati, sehingga pasal-pasal tersebut akan sangat berbahaya.