REPUBLIKA.CO.ID, oleh Sapto Andika Candra, Rizkyan Adiyudha, Muhyidin, Mabruroh
doa sakral
seenaknya kau begal
disulam tambal
tak punya moral
agama diobral
doa sakral
kenapa kau tukar
direvisi sang bandar
dibisiki kacung makelar
skenario berantakan bubar
pertunjukan dagelan vulgar
doa yang ditukar
bukan doa otentik
produk rezim intrik
penuh cara-cara licik
kau penguasa tengik
Ya Allah
dengarlah doa-doa kami
dari hati pasrah berserah
memohon pertolonganMu
kuatkanlah para pejuang istiqomah
di jalan amanah
Puisi di atas ditulis oleh Wakil Ketua DPR yang juga politikus Partai Gerindra Fadli Zon. Puisi yang diberi judul "Doa yang Ditukar" itu kemudian menyulut protes lantaran dinilai menyindir Kiai Maimoen Zubair yang sempat salah ucap saat memanjatkan doa di Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah, pada Jumat (1/2) lalu.
Mbah Moen salah mengucap nama Jokowi menjadi Prabowo saat berdoa di sela kunjungan Jokowi ke Ponpes Al-Anwar yang rekaman videonya viral di media sosial. Doa itu kemudian diralat.
Putri Presiden keempat Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Yenny Wahid, ikut buka suara terkait puisi berjudul "Doa yang Tertukar" oleh Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon. Menurut Yenny, Fadli telah suul adab atau melakukan tindakan tidak beretika bila benar sosok yang dibahas Fadli adalah tokoh kharismatik dan senior Nahdlatul Ulama (NU), KH Maimun Zubair alias Mbah Moen.
"Kok orang sepuh dihina seperti itu di kau-kau kan dibilang makelar doa, pokoknya menurut saya tidak beretika kalau yang dituju itu Mbah Moen," jelas Yenny usai mendampingi perwakilan petani tebu menghadap Presiden Jokowi di Istana Negara, Rabu (6/2).
Menurut Yenny, apa yang dilakukan Mbah Moen murni salah ucap dan sebuah hal yang lumrah dilakukan oleh orang sepuh. Yenny mengatakan, bila didengarkan kembali struktur kalimat doa yang disampaikan Mbah Moen jelas bahwa sosok yang dimaksud dalam doa adalah sosok di sampingnya yang tak lain adalah capres nomor urut 01, Jokowi.
"Anak saya tiga, saya suka salah manggil nama. Apalagi, Mbah Moen yang sudah lebih sepuh. Saya yang usianya setengahnya dari Mbah Moen sering salah manggil nama anak sendiri," kata Yenny.
Yenny merasa bahwa dalam atmosfer pilpres maka hal apa pun bisa dijadikan sebagai komoditas politik. Tapi, ia meminta agar dalam berpolitik tetap harus memperhatikan adab dan sopan santun, terlebih kepada tokoh kharismatik NU. Yenny justru mengingatkan Fadli agar tidak dianggap telah melakukan penghinaan terhadap ulama.
"Nanti mau nggak dituduh menghina ulama? Keluarga NU banyak yang nggak terima. Kalau membela Pak Prabowo, jangan dengan menghina ulama dong, apalagi menghina ulama NU," kata Yenny.
Pimpinan Pondok Pesantren Roudlotul Hasanah Subang KH Mochammad Abdul Mu'min melontarkan kritik kepada Fadli Zon. Kiai Abdul Mu'min mengatakan, Fadli tak menghormati Mbah Moen dengan menyindirnya lewat sebuah puisi.
"Saya sudah baca puisi Fadli itu. Isinya merendahkan ulama dengan mengatakan doanya ditukar," kata KH Mochammad Abdul Mu'min di Jakarta, Selasa (5/2).
Abdul Mu'min menilai, sikap yang ditunjukkan Fadli sudah keterlaluan. Lebih lanjut, dia meminta para politikus untuk tidak bertingkah kurang ajar kepada para ulama. Dia mengatakan, pesantren itu sudah berumur ratusan tahun, sementara politikus baru lahir kemarin sore.
Kiai Abdul Mu'min mengatakan, Mbah Moen merupakan ulama kharismatik yang dihormati karena kelimuan dan kealimannya. Dia mengatakan, karena itu, Kiai Mu’min menganggap Fadli dengan menulis "Doa yang Ditukar" sama saja tidak menghormati ulama.
“Rasulullah memerintahkan agar kami menghormati ulama, takzim kepada ulama, karena ulama adalah yang mengurus umat dan yang memerdekakan republik ini,” kata pengurus NU Subang tersebut.
Karena itu, Kiai Mu’min mengingatkan semua pihak tidak ikut-ikutan mempermainkan ulama seperti yang dilakukan Fadli dengan puisinya. Dia mengatakan, setiap sesuatu jika dipandang dengan hati benci, jangankan yang salah, yang benar pun disalahkan.
Fadli Zon memang belum secara resmi merespons gelombang protes terhadap puisi "Doa yang Ditukar". Namun, pada Selasa (5/2) Fadli sempat membalas pertanyaan Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin lewat Twitter. Menurut Fadli, puisinya tidak merujuk kepada Mbah Moen.
Pak Lukman yb, jelas sekali bukan. Itu itu penguasa n makelar doa. https://t.co/ARID8q3DQm
— Fadli Zon (@fadlizon) February 5, 2019
Seruan MUI
Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta agar masyarakat tidak lagi menjadikan kesalahan ucap dalam doa Mbah Moen sebagai bahan olok-olok. “MUI mengajak kepada semua pihak untuk tidak menjadikan nilai-nilai ritual keagamaan seperti doa dijadikan sebagai bahan olok-olok, ejekan, dan untuk konsumsi kepentingan politik praktis,” kata Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Senin (4/2).
Doa, kata dia, dalam ajaran agama menempati tempat yang sangat khusus dan memiliki nilai ritual keagamaan yang sangat tinggi. Oleh karena itu, jika masih ada yang mengolok-olok, apalagi menyeret dalam politik praktis, menurutnya, perbuatan tersebut jauh dari akhlak Islam dan tidak mencerminkan sebagai manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan, kesantunan, dan keadaban dalam beragama.
“Doa dalam ajaran agama menempati tempat yang sangat khusus dan memiliki nilai ritual keagamaan yang sangat tinggi karena doa mengandung nilai-nilai transendental yang langsung berhubungan dengan Sang Khalik, Tuhan Yang Maha Esa,” tegas Zainut.
Zainut menegaskan, MUI meminta kepada semua pihak untuk menghentikan polemik masalah salah ucap doa atau sabqul lisan yang dibacakan oleh KH Maimoen Zubair. Apalagi, Mbah Moen, ungkapnya, merupakan seorang ulama sepuh yang sangat dihormati dan dimuliakan, bukan saja oleh jutaan santrinya, melainkan juga oleh banyak kalangan.
“Kesalahan ucap tersebut sangat manusiawi dan tidak mengurangi maksud yang terkandung dalam doa beliau. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui isi hati setiap hamba-Nya yang berdoa dan menjawab sesuai dengan maksud permohonannya,” tutur Zainut.
Terakhir, ia meminta agar semua pihak dapat mengembangkan sikap husnuzhan atau berbaik sangka serta pemahaman yang baik terhadap hal-hal yang berhubungan dengan masalah ritual keagamaan seperti doa. Tujuannya, untuk menghindari terjadinya lagi kesalahpahaman, polemik, dan politisasi agama yang menjurus kepada SARA.