Jumat 08 Feb 2019 18:55 WIB

Laju Pertumbuhan Ekonomi Terhambat Deindustrialisasi

Ekonomi Indonesia kerap mengalami tekanan karena bergantung pada harga komoditas.

Rep: Ahmad Fikri Noor/ Red: Friska Yolanda
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Bambang Brodjonegoro
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Bambang Brodjonegoro

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro mengatakan, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia sulit meningkat lebih tinggi dari kisaran lima persen per tahun. Menurut Bambang, salah satu penyebabnya adalah gejala deindustrialiasi yang terjadi di Indonesia. 

"Susah membawa pertumbuhan di atas lima persen. Mungkin pada 2018 kita bisa di 5,17 persen tapi itu tidak cukup untuk bisa mengurangi kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja," kata Bambang dalam konferensi pers usai peluncuran buku Kebijakan untuk Mendukung Pembangunan Sektor Manufaktur di Indonesia 2020-2024. 

Buku tersebut merupakan hasil kajian Bappenas bersama Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) guna menganalisis prospek pertumbuhan Indonesia lima tahun ke depan. Bambang memaparkan, ekonomi Indonesia mampu tumbuh hingga mencapai rata-rata 7,5 persen per tahun pada rentang 1968 hingga 1979 berkat dorongan harga minyak. Akan tetapi, ketika harga komoditas tersebut anjlok, pertumbuhan ekonomi pun ikut turun. Dalam rentang 1980 hingga 1996, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 6,4 persen per tahun. Setelah masa krisis moneter Asia hingga 2017, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia bahkan hanya mencapai 5,3 persen per tahun. 

Bambang menjelaskan, ekonomi Indonesia kerap mengalami tekanan karena bergantung pada harga komoditas. Dia menyampaikan, banyak negara di dunia yang fokus untuk menjadikan sektor manufaktur sebagai motor pertumbuhan. Dia mencontohkan, Korea Selatan bisa menjadi negara maju karena menggenjot sektor manufakturnya.