Jumat 08 Feb 2019 20:57 WIB

Pengembangan EBT Lambat Meski Indonesia Kaya Potensi

Sepanjang 2015-2018 penambahan kapasitas pembangkit EBT hanya 882 MW

Sejumlah pekerja beraktivitas di area instalasi sumur Geothermal atau panas bumi milik PT Geo Dipa Energi kawasan dataran tinggi Dieng Desa Kepakisan, Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah, Selasa (10/10). Indonesia memeiliki sekitar 40 persen cadangan energi geothermal dunia sehingga memiliki potensi tinggi untuk sumber energi terbarukan namun baru sekitar lima persen yang digunakan.
Foto: ANTARA FOTO/Anis Efizudin
Sejumlah pekerja beraktivitas di area instalasi sumur Geothermal atau panas bumi milik PT Geo Dipa Energi kawasan dataran tinggi Dieng Desa Kepakisan, Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah, Selasa (10/10). Indonesia memeiliki sekitar 40 persen cadangan energi geothermal dunia sehingga memiliki potensi tinggi untuk sumber energi terbarukan namun baru sekitar lima persen yang digunakan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Essential Services Reform (IESR) menyebut pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia masih sangat lambat. Padahal Indonesia kaya akan potensi sumber daya EBT.

"Indonesia adalah 'hot spot' untuk energi terbarukan, kita sumber daya paling besar. Misal saja panas bumi sampai 28 giga watt, tetapi tahun lalu kenaikan di panas bumi tidak terlalu signifikan," kata Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa dalam diskusi mengenai EBT di Jakarta, Jumat (8/2).

Fabby menuturkan sepanjang 2015-2018, penambahan kapasitas pembangkit energi baru terbarukan hanya 882 mega watt (MW). Padahal, di era sebelumnya, yakni 2010-2014, kapasitas pembangkit EBT bisa mencapai 2.615,7 MW.

"Kalau ini diteruskan sampai 2019, estimasi kami paling hanya bertambah 300 MW sehingga total kapasitas maksimum hanya 1.200 MW. Ini tentu jadi perhatian karena dalam visi misi Jokowi, kedaulatan energi dan pemanfaatan EBT dulu disebut-sebut," katanya.

Dengan capaian porsi EBT dalam bauran energi yang saat ini baru 8 persen, pemanfaatan EBT masih disebut sangat lambat. Padahal sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) capaian saat ini seharusnya sudah mencapai 16 persen agar bisa mencapai target 23 persen pada 2025.

Fabby mengaku memahami fokus utama Presiden Jokowi saat ini adalah meningkatkan akses listrik dengan membangun infrastruktur hingga listrik desa.

Rasio elektrifikasi pun ditaksir naik memenuhi target 96 persen pada akhir 2019. Namun regulasi yang ada justru dinilai menghambat perkembangan EBT.

"Indonesia punya sumber daya yang besar dengan 'size' (ukuran) macam-macam dari yang kecil sampai besar. Ini membuat potensi kita bisa lebih mudah dilihat investor. Kita juga PLN yang memberi kepastian adanya pembeli. Terakhir, isu perubahan iklim juga saya yakin akan mendorong pengembangan EBT di masa depan," katanya. 

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement