REPUBLIKA.CO.ID, Kemacetan Jakarta masih menjadi satu permasalahan berat yang belum terpecahkan. Sejak gedung pencakar langit menjulang, serta sejumlah pembangunan infrastruktur, Jakarta makin macet karena ruas jalan-jalannya makin menyempit.
Selain banyaknya pembangunan, jumlah kendaraan roda empat dan roda dua di Jakarta pun kian bertambah setiap tahunnya. Mengapa demikian? Salah satu alasannya karena perusahaan-perusahaan kendaraan pun meningkatkan target penjualan mereka tiap tahunnya.
Dalam mengatasi kemacetan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dari tahun ke tahunnya memiliki berbagai kebijakan. Sejumlah cara dengan pembangunan lintas atas dan lintas bawah hingga membuat kebijakan seperti three in one sampai ganjil-genap masih belum bisa membuat kemacetan berkurang.
Misalnya saja ruas jalan di sekitar Patung Pancoran, Jakarta Selatan. Berdasarkan pantauan Republika, persimpangan tersebut tidak pernah lekang oleh kemacetan. Bahkan, pada hari libur pun, persimpangan tersebut kerap macet.
Salah seorang warga yang hampir setiap hari melewati Patung Pancoran, Nurani Kinasih (27 tahun), mengaku selalu terjebak kemacetan. “Dari Cawang ke Semanggi saja itu bisa 1,5 jam setiap harinya. Kalau lagi enggak terlalu macet masih 1 jam jarak tempuhnya. Itu kalau hari kerja dan di jam sibuk ya,” kata dia kepada Republika, beberapa waktu lalu.
Hal itu, kata dia, merupakan jarak tempuh menggunakan Transjakarta. Kalau ia membawa motor, jarak tempuhnya terkadang lebih cepat. Karena itulah, ajakan pemerintah untuk beralih ke transportasi umum masih kurang efektif untuk membuat jarak tempuh perjalanan lebih cepat.
“Saya masuk kerja pukul 08.00 WIB. Itu saya berangkat dari rumah harus sekitar pukul 05.30 WIB. Naik kereta dari Depok ke Cawang itu 30 menit, kemudian nyambung Transjakarta dari Cawang ke Semanggi 1,5 jam. Setiap hari saya menempuh waktu 2 jam untuk tiba di kantor dengan kendaraan umum. Kalau saya bawa motor malah lebih cepat,” kata Nurani.
Keberadaan lintas atas Pancoran belum memberikan pengaruh yang berarti dalam mengurangi kemacetan. Lalu, masyarakat masih enggan beralih ke transportasi umum karena kerap menyiksa, belum lagi tekanan aturan jam kantor yang harus tiba 30 menit sebelum jam masuk.
Menurut dia, masyarakat akan selalu memiliki alasan untuk tidak naik transportasi umum. “Dan yang bikin macet lagi adalah sebenarnya bukan motor, tapi mobil-mobil yang isinya hanya satu orang. Ini yang harus diatasi,” kata Nurani.
Untuk mengatasi kendaraan roda empat yang kerap disebut sebagai penyebab kemacetan Jakarta, rencana pembatasan usia kendaraan roda empat muncul kembali. Pembatasan usia kendaraan roda empat tersebut sejalan juga dengan prediksi Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB), yang menyebut kualitas udara di Jakarta kian buruk. Kendaraan yang sudah renta tentu tidak akan lolos uji emisi dan tidak boleh digunakan lagi.
Dengan demikian, pengetatan uji emisi tersebut tentu akan bisa membatasi jumlah kendaraan. Direktur Eksekutif KPBB, Ahmad Safruddin, menyebut peningkatan polusi udara jika dibandingkan antara 2017 ke 2018 jumlahnya meningkat 6-8 persen.
“Pada 2019 ini, pencemaran udara di Jakarta akan tetap tinggi, bahkan meningkat dari tahun-tahun sebelumnya,” kata Ahmad.
Ia memprediksi hal tersebut karena melihat masih banyaknya permasalahan yang ada di Jakarta, khususnya pemerintah yang masih kurang serius untuk mengatasi pencemaran udara. Misalnya saja dalam pengawasan transportasi atau kendaraan bermotor.
Di Jakarta, kendaraan bermotor masih tidak diterapkan uji emisi secara ketat. Tidak ada kewajiban uji emisi bagi seluruh kendaraan di Jakarta. Tidak ada pula kewajiban perawatan kendaraan bermotor oleh pemiliknya. Padahal, peraturan yang ada sudah mengatur itu, tetapi praktiknya tidak dijalankan.
“Kenapa ini (uji emisi dan perawatan kendaraan) tidak dilakukan? Karena pemerintah tidak melakukan razia emisi,” ujar dia.
Razia uji emisi tersebut perlu dilakukan, khususnya bagi kendaraan-kendaraan yang sudah berusia tua. Kemudian, razia itu perlu juga diterapkan pada truk-truk pengangkut material yang tidak memakai penutup sehingga debu bertebaran ke mana-mana. Gedung-gedung bertingkat pun tidak memiliki penutup, padahal di negara maju dikerudungi semacam kelambu untuk menolak debu.
Pendiri Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jalal, menekankan pemerintah pusat maupun daerah untuk memperbaiki kebijakan pengendalian udara. “Perbaikan harus mencakup seluruh aspek sumber pencemar, baik sumber bergerak seperti kendaraan maupun sumber tidak bergerak,” kata Jalal.
Misalnya saja mulai dari penggunaan bahan bakar yang lebih baik. Semua kendaraan disarankan untuk sudah bisa menggunakan bahan bakar gas. Sementara itu, penggunaan bahan bakar Premium, solar, dan Pertalite sudah harus dihapus dan minimal menggunakan Pertamax karena ketiganya merupakan bahan bakar kotor yang bisa menimbulkan pencemaran.
Kemudian, kendaraan rendah emisi harus digunakan. Jika masih merupakan kendaraan berusia lama, mobil tersebut harus menggunakan bahan bakar non-Pertalite, non-Premium, dan nonsolar. Kendaraan juga harus diuji emisinya secara rutin, dilakukan perawatan rutin, dan jangan dipanaskan. Kendaraan bisa langsung saja digunakan dengan kecepatan rendah sekitar 5-10 menit, baru dipacu secara normal.
Pemerintah disarankan untuk merekayasa lalu lintas agar kendaraan lebih teratur. Lalu, penggunaan angkutan umum massal ditingkatkan. Sekarang penggunaan angkutan massal dinilai sudah bagus tetapi masih perlu ditingkatkan karena loopline KRL saja masih belum efektif.
Dari 33 juta perjalanan setiap hari, yang dilayani KRL baru sekitar 1,5 juta, oleh Transjakarta 600 ribu, oleh nanti kalau MRT sudah beroperasi itu sekitar 800 ribu. Dengan demikian, jumlahnya masih jauh dari 33 juta itu karena sebagian besar pengguna jalan masih menggunakan kendaraan pribadi.
Penegakan hukum yang ketat seperti razia di jalan terhadap mobil-mobil juga wajib dilakukan. Kemudian, razia terhadap pabrik-pabrik yang melakukan pencemaran. “Jangan hanya dibiarkan, harus ditindak tegas, dipidana saja kan ada aturannya sehingga pabrik ada kemauan kendalikan emisinya,” kata dia.