REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI – Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi kembali mengevaluasi program Kartu Sehat berbasis Nomor Induk Kependudukan (KS-NIK) bagi masyarakat. Hasil evaluasi tersebut memutuskan, para pemegang kartu BPJS Kesehatan tak lagi dapat menggunakan fasilitas KS-NIK baik di Puskesmas maupun rumah sakit.
Wakil Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto Tjahyono, mengatakan, kebijakan tersebut sudah berlaku efektif sejak 1 Februari 2019. Ia menjelaskan, sejak KS-NIK diluncurkan pada 2017 silam, pasien memang tidak diperbolehkan menggunakan kedua fasilitas tersebut secara bersamaan.
Adapun pembaruan kebijakan yang baru ditetapkan, hal tersebut dalam rangka evaluasi program. “Supaya jangan sampai warga sudah bayar iuran BPJS, tapi pemkot yang menanggung biaya pengobatan lewat KS. Saya kira ini supaya lebih efisien dan efektif,” kata Tri kepada wartawan di Bekasi, Jumat (8/2).
Untuk diketahui, biaya premi KS-NIK bagi Puskesmas dan rumah sakit yang menerima pasien dibayar langsung oleh Pemkot Bekasi lewat dana alokasi APBD. Berbeda dengan BPJS Kesehatan yang bersumber dari iuran masyarakat.
Tahun 2019, Tri menjelaskan, pihaknya menyediakan anggaran sebesar Rp 300 miliar untuk membiayai pasien KS-NIK. Jumlah itu jauh lebih besar dari alokasi APBD 2018 murni sebesar Rp 170 miliar. Peningkatan tersebut dipicu oleh membengkaknya kebutuhan anggaran KS-NIK sepanjang 2018 yang mencapai Rp 419,7 miliar.
Sebelum evaluasi KS-NIK tahun ini, sebelumnya Pemkot Bekasi juga telah mengubah sistem rujukan pengguna KS-NIK menjadi berjenjang. Di mana, para pasien tak lagi dapat langsung berobat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Bekasi ataupun rumah sakit swasta.
Warga pengguna KS-NIK harus berobat di Puskesmas terlebih dahulu. Kecuali, untuk sakit yang membutuhkan penanganan gawat darurat. “Dalam suatu program tentunya harus ada evaluasi keberjalanannya. Ya, warga kan tinggal memilih saja,” ujarnya.
Kendati demikian, Tri menegaskan, untuk penyakit kelas tiga yang tidak ditanggung BPJS Kesehatan, pasien dapat menggunakan KS-NIK. Dengan begitu, para pemegang kartu BPJS Kesehatan tak perlu menonaktifkan diri demi bisa berobat dengan KS-NIK.
“Untuk sakit yang tidak ditanggung BPJS Kesehatan, nanti KS-NIK yang hadir dan meng-cover biayanya. Tinggal diatur saja,” ujar dia.
Ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasa Indonesia (ARSSI) Kota Bekasi, Irwan Heriyanto, mendukung perubahan kebijakan tersebut. Ia menilai, pembatasan penggunaan fasilitas jaminan kesehatan tersebut akan meningkatkan efektivitas pelayanan di rumah sakit.
Ia pun mengimbau agar para pengguna BPJS Kesehatan memanfaatkan fasilitas tersebut karena sudah membayar iuran rutin. Adapun bagi pasien yang telah menggunakan BPJS Kesehatan saat pertama kali berobat, tidak diperbolehkan menggunakan KS-NIK.
“Itu tidak bisa. Lagi pula penyakit yang tidak ditanggung dalam BPJS Kesehatan itu adalah penyakit ringan. Ada 144 penyakit, itu bisa berobat di Puskesmas,” ujar dia.
Anggota Komisi IV DPRD Kota Bekasi Fraksi PKB Ahmad Ustuchri menilai, pelaksanaan KS-NIK memang butuh evaluasi. Sebab, diakui KS-NIK menimbulkan banyak penyalahgunaan oleh masyarakat karena penggunaannya yang mudah.
Namun, lanjut Ustuchri, perubahan kebijakan di mana pemegang kartu BPJS Kesehatan tak lagi dapat menggunakan KS-NIK tidak boleh begitu saja diterapkan. Ia mengatakan, perlu ada proses transisi lewat sosialiasi kepada masyarakat. Sebab, tak dimungkiri banyak masyarakat yang telanjur tidak membayar iuran BPJS Kesehatan karena sudah memiliki KS-NIK.
“Bagaimana dia mau pakai BPJS kalau sudah menunggak? KS-NIK dibuat kan sebagai solusi atas banyaknya keluhan di BPJS. Kalau KS-NIK tidak lebih baik, itu namanya pemborosan kebijakan,” katanya.
Ia mengaku, perubahan kebijakan tersebut juga belum dikonsultasikan dengan Komisi IV DPRD. Karena itu, pihaknya meminta pemerintah untuk memperhatikan dampak yang akan dirasakan masyarakat dari perubahan yang tiba-tiba itu.