REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Puisi Anggota Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Fadli Zon dengan judul 'Doa yang Tertukar' terus menuai kritikan. Direktur Hukum dan Advokasi Tim Kampanye Nasional (TKN), Ade Irfan Pulungan menilai puisi tersebut sebagai bagian dari ujaran hoaks dan kebencian.
"Hoaks menurut saya extraoradinary crime. Kejahatan sangat sangat luar biasa. Akibatnya malah lebih dahsyat dari korupsi maupun teroris. Karena dampaknya bukan hanya pada korban, tapi generasi-generasi selanjutnya. Karena yang dipengaruhi adalah mind set generasi tersebut," ujarnya dalam siaran pers, Ahad (10/2).
Sejalan dengan Ade Irfan, Ketua Umum Relawan Milenial Jokowi Maruf (Remaja) Misbahul Ulum menilai, persoalan hoaks dan ujaran kebencian seharusnya bisa lebih dibatasi jika para publik figur bisa memberikan keteladanan dengan tidak melakukan pembiaran, apalagi sampai ikut melakukan hal tersebut.
"Tokoh politik sebagai publik figur seharusnya menjadi teladan. Mereka hendaknya menunjukkan perilaku bermoral khususnya di ruang publik. Bukan justru sebaliknya, menunjukkan kebencian," katanya.
Misbahul yang juga adalah Wakil Direktur Penggalangan dan Jaringan TKN, mencontohkan kasus puisi Fadli Zon yang menurutnya jauh dari contoh moral publik. Menurutnya, sebagai Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon harusnya sadar bahwa ia mewakili wajah rakyat Indonesia. Bagaimanapun juga tidak layak bagi seorang pejabat publik menghina.
"Apalagi jika ditujukan kepada ulama sepuh yang dihormati semua kalangan seperti Mbah Moen," tegasnya.
Menegaskan sikap Remaja, Misbahul Ulum menuntut agar Fadli Zon meminta maaf atas pelecehan yang dilakukan pada puisinya 'Doa yang Tertukar' kepada KH. Maimun Zubair. "Sebagai santri, kami akan menerima permintaan maaf Fadli Zon jika dilakukan secara ikhlas, tertulis, dan terbuka. Jika tidak kami akan menempuh jalur hukum," tutupnya.