REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Capres 01 Joko Widodo (Jokowi) menjawab tudingan capres 02 Prabowo Subianto soal kebocoran anggaran sebesar 25 persen dari total anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Jokowi menanyakan dasar Prabowo melontarkan tudingan tersebut.
Jokowi menerangkan, anggaran negara pada 2018 adalah Rp 2.020 triliun. Dengan yang disebut Prabowo sebanyak 25 persen, maka kebocoran yang dituduhkan diperkirakan Rp 505 triliun.
"Itu duit 500 triliun ada di mana? Saya bertanya, hitungannya dari mana? Jangan membuat pernyataan yang membuat masyarakat menjadi resah. Iya ndak?" kata Jokowi saat menghadiri deklarasi Alumni SMA Jakarta Bersatu.
Jokowi mengungkapkan, setiap tahun, rencana anggaran disetujui oleh semua fraksi yang ada di DPR. Begitu pula pertanggungjawaban realisasi anggaran itu, kata dia, juga disetujui oleh semua fraksi daat dilaporkan ke DPR oleh pemerintah eksekutif.
"Jangan sampai semua sudah tanda tangan, kemudian baru ngomong Rp 500 triliun bocor. Bocor dari mana?" kata Jokowi.
Jokowi pun menambahkan, setiap tahun, mekanisme penggunaan anggaran pemerintah selalu diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ketika terjadi kejanggalan, menurut Jokowi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun akan langsung mengendusnya.
Sedangkan, Jokowi mengklaim, hasil pemeriksaan BPK, lebih dari 80 persen kementerian-kementerian mendapatkan hasil wajar tanpa pengecualian (WTP). Maka itu, Jokowi pun tidak memahami darimana dasar tudingan Prabowo Subianto tersebut.
"Inilah perbaikan yang perlu kita lakukan agar uang rakyat betul-betul bisa kita amaankan dan kita pakai untuk pembangunan," kata dia.
Di lain pihak, Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo - Sandi, Muhammaf Syafii menjelaskan tuduhan capres Prabowo Subianto soal kebocoran negara 25 persen dalam pemerintahan Jokowi. Menurut Syafii, tuduhan itu merupakan bentuk pertanyaan apakah penerimaan-penerimaan negara benar-benar terserap di APBN.
Syafii menjelaskan, sumber data Prabowo merupakan hasil himpunan BPN soal pajak. Menurut Syafii, terjadi kebocoran 25 persen dari total APBN sebesar Rp 2.020 triliun yang artinya sebanyak Rp 505 triliun. BPN pun mencontohkan soal pajak, apakah semua yang diwajibkan membayar pajak telah membayar, dan apakah pajak yang dibayarkan tersebut terserap.
"Misalnya mau beli apa saja termasuk makan restoran tetap dikenakan pajak. Di restoran malah pajaknya sampai 10 persen. pertanyaannya apakah pajak yang dipotong di yang dikutip di setiap rumah makan itu memang kemudian masuk APBN? Ini kan kita masih bertanya, ya kalau kita melihat masih banyak kebocoran," kata Syafii.
Kebocoran yang dituduhkan sebesar 25 persen itu, kata Syafii pun bukan hanya pajak saja, misalnya dari pertambangan, neraca perdagangan serta ektor-sektor yang menghasilkan lainnya. Ia pun menyinggung perdagangan Indonesia yang banyak dipegang asing, sehingga penyerapan semakin tidak maksimal.