REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Dalam pandangan Ibnu Qayyim, hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya tak bisa dilepas dari dua kata penting yaitu kata “dari” ( min) dan kata “menuju” (ila). Berhijrah dengan totalitas hati, niat, dan komitmennya dari mencintai selain Allah me nuju kecintaan penuh kepada-Nya.
Demikian seterusnya, penggunaan dua kata itu berlaku di setiap sikap dan tindakan. Misalnya, hijrah dari takut kepada pihak selain Allah, menjadi hanya takut kepada-Nya, meninggalkan pengharapan dan doa dari kekuatan lain menuju penghambaan penuh kepada-Nya. Dua kata itu menyimpan rahasia tauhid yang sangat mendalam dan krusial.
Dalam pengunaan dua kata itu saat aktualisasi hijrah, maknanya sepadan dengan kata lain, yaitu “berlari” kepada-Nya atau al firar ilallah. Allah SWT berfirman, “Maka segeralah kembali kepada (menaati) Allah.” Kata al firar ilallah, artinya juga meyakini segala ketentuan dan ketetapan yang digariskan oleh- Nya. Segala yang Ia kehendaki akan terjadi, sedang yang tidak Ia inginkan niscaya tak bakal ada.
Pada intinya, makna hijrah ialah beralih dari apa pun selain Allah, menuju satu titik yang abadi, menuju ridha-Nya. Rasulullah bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abdullah bin Amr, yaitu “Orang yang berhijrah ialah mereka yang meninggalkan segala apa yang dilarang Allah’’.
Karena itu, menurut Ibnu Qayyim yang wafat pada 751 H/1352 M, Allah SWT sering menyandingkan antara kata iman dan hijrah dalam banyak hal lantaran keduanya saling berkaitan.
Menurut murid yang menghabiskan 16 tahun belajar kepada Ibnu Taimiyyah itu, frekuensi hijrah kadang melemah dan tak jarang pula menguat. Pasang surut kekuatan hijrah itu ditentukan oleh seberapa besar daya kecintaan di hati seorang hamba.
Selama do rong an cinta itu kuat, kualitas hijrah akan bertambah baik. Begitu juga sebaliknya, bila energi yang dihasilkan oleh cinta menurun, akan berdampak pada buruknya hijrah yang dilakukan seseorang.
Menjelaskan makna hijrah kepada Rasul-Nya, Ibnu Qayyim mengatakan, berhijrah kepada Rasulullah berarti melaksanakan syariat yang terdapat di risalah yang ia sampaikan. Segala sesuatu yang telah dikemukakan oleh Rasulullah maka taatilah.
Selain itu, hendaknya dibuang jauh-jauh di kedalaman laut. Kesaksian tentang kebenaran agama sudah secara gamblang diutarakan oleh Rasulullah, maka sepatutnya apa pun yang berasal dari selainnya, anggap saja berasal dari golongan yang diragukan kebenarannya. “Di sini batasan penting hijrah kepada Rasulullah,” tulisnya.
Selanjutnya, ditambahkan oleh Ibnu Qayyim, baik hijrah menuju Allah maupun berhijrah kepada Rasul-Nya adalah pengejewantahan dari makna bersyahadat. Dua kalimat syahadat itu masingmasing mewakili makna berhijrah tersebut.
Pertama, bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan kedua meneguhkan kesaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Kedua muara hijrah inilah yang akan menjadi pertanyaan penting bagi segenap umat manusia di alam barzakh dan akhirat kelak.
Abu al-Khitab Qatadah bin Da’amah, seorang tabi’in terkemuka, mengomentari urgensi dua kalimat tersebut. Ia mengatakan, keduanya adalah dua hal utama yang akan dipertanggungjawabkan oleh setiap manusia. “Dua kalimat itu akan ditanyakan kepada orang dulu, esok, dan kini, yaitu “Apa yang kalian sembah dan sejauh mana kalian mencintai Rasulullah?” kata Qatadah yang wafat pada 117 Hijriah itu.