Senin 11 Feb 2019 12:03 WIB

Aturan Ojek Daring Dinilai Hambat Industri Digital

Jangan sampai kenaikan tarif ojek daring berdampak seperti kenaikan tarif bagasi.

Sejumlah pengemudi ojek online melintas di kawasan Paledang, Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa (15/1/2019).
Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya
Sejumlah pengemudi ojek online melintas di kawasan Paledang, Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa (15/1/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat menilai aturan ojek daring baru yang tidak tepat bisa menghambat pertumbuhan industri digital, terutama sektor ride hailing (berbagi tumpangan). Pernyataan itu terkait rencana penetapan tarif batas bawah dan atas sebesar Rp 3.100 sampai Rp 3.500 yang dianggap terlalu mahal bagi konsumen.

"Kalau (tarif) kemahalan, konsumen berpotensi berkurang, maka pengemudi akan ikut terdampak. Akhirnya, berdampak juga terhadap kelangsungan industrinya," kata pengamat industri digital dari Indonesia ICT Institute Heru Sutadi, Senin (11/2).

Baca Juga

Karena itu, kata dia, pemerintah sebaiknya juga harus memperhatikan kelangsungan industri digital sebagai tulang punggung (back bone) operasional ojek daring. Apalagi, kata dia, konsumen layanan ojek daring bukan cuma individu, melainkan juga UMKM dan e-commerce yang memanfaatkan jasa logistik lewat penyedia transportasi berbasis aplikasi tersebut.

Ia mencontohkan kasus kenaikan tarif dan bagasi berbayar pada pesawat terbang, yang berdampak pada penurunan jumlah penumpang secara signifikan. Imbasnya pun telah sampai ke bisnis logistik dan e-commerce.

"Sebab itu, pemerintah perlu cermat menghitung kenaikan tarifnya, tak cuma tarif per kilometer yang patut dipertimbangkan, kemampuan konsumen juga harus dihitung," ujar Heru.

Heru mengatakan keberadaan layanan aplikasinya di era disrupsi memang membantu mobilitas konsumen. Selain tarif per kilometer yang jelas, mereka mudah dipesan menggunakan aplikasi yang tersedia. Dengan begitu, konsumen bisa mendapat layanannya kapan saja dan dimana saja.

Namun, kata Heru melanjutkan, saat ini konsumen sebenarnya sudah tak lagi mendapat layanannya dengan harga murah seperti dahulu. Harga yang seolah-olah murah hanya berlaku saat promosi berlangsung.

Ketika tanpa promosi, alias tarif dalam kondisi normal, besarannya sudah cukup sesuai baik bagi konsumen maupun mitra pengemudi. "Kalau (tarif) mau dinaikkan terlalu mahal, kemudian konsumen keberatan, bukan tak mungkin mereka akan beralih ke moda transportasi lain. Order mereka pun turun drastis," kata dia.

Ia menyarankan pemerintah sebaiknya mengajak semua pihak, termasuk aplikator dan konsumen, untuk ikut memberi masukan terhadap Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Perhubungan yang mengatur tentang tarif ojek daring sebelum akhirnya diterapkan. Pemerintah dinilai jangan hanya mendengar keinginan mitra pengemudi semata. Suara konsumen yang keberatan dengan kenaikan tarif pun perlu diakomodir agar tak menghambat perkembangan industri digital.

"Iklim usaha kondusif hanya bisa terjadi bila ada kerja sama yang saling menguntungkan. Ini perlu didiskusikan dengan semua pihak, ya pengemudi, aplikator, juga konsumen, sehingga mendapat hasil yang tepat buat semua," ujar Heru.

Selama ini, aplikator Grab menerapkan tarif batas bawahnya sebesar Rp 1.200 per kilometer, adapun Go-Jek memberikan Rp 1.600 untuk mitra pengemudi. Jika dibandingkan dengan tarif batas bawah baru Rp 3.100 yang diformulasikan oleh Kementerian Perhubungan bersama Tim 10, artinya terjadi kenaikan sebesar dua kali lipat. 

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement