REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memperberat hukuman pemegang saham Blakgold Natural Resources (BNR) Ltd, Johanes Budisutrisno Kotjo, terbukti menyuap Anggota Komisi VII DPR fraksi Partai Golkar Eni Maulani Saragih senilai Rp 4,75 miliar. Putusan Kotjo diperberat dari dua tahun delapan bulan penjara menjadi 4,5 tahun.
"Menjatuhkan kepada terdakwa Johanes Budisturisno Kotjo dengan pidana penjara selama 4 tahun dan 6 bulan dan pidana denda sejumlah Rp250 juta, apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan," demikian petikan putusan banding PT DKI Jakarta yang diterima di Jakarta, Senin (11/2).
Putusan itu diambil oleh majelis hakim banding yang diketuai Daniel Dalle Pairunan dengan anggota I Nyoman Adi Juliasa, Achmad Yusak, Hening Tyastanto, dan Rusydi.
Sebelumnya pada 13 Desember 2018 lalu, pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta memvonis Kotjo 2 tahun 8 bulan penjara ditambah denda Rp 150 juta subsider 3 bulan kurungan. Hal itu berdasarkan dakwaan pertama dari Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Padahal, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menuntut agar Kotjo divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp250 juta subsider 6 bulan kurungan. Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai bahwa perbuatan Kotjo memberikan suap kepada Eni Maulani Saragih selaku anggota DPR Komisi VII yang membidangi energi telah mencederai rasa keadilan masyarakat.
Selain itu, perbuatan tersebut juga telah mengakibatkan terhentinya proyek Pembangunan PLTU Mulut Tambang Riau-I sebagai bagian dari "Power Purchase Agreement" (PPA) antara PT PLN dengan konsorsium PT China Huadian Engineering Company Limited (CHEC) Ltd, PT BNR dan PT Pembangkit Jawa Bali (PJBI).
"Menimbang dengan berhentinya proyek pembangunan PLTU MT Riau-1 yang berkapasitas 35 ribu MW sangat merugikan masyarakat pada umumnya dan masyarakat Riau pada khususnya untuk menikmati penggunaan listrik tersebut," kata hakim.
Apalagi menurut hakim, tindak pidana yang dilakukan Kotjo dilakukan secara sistematik yaitu mulai dari perencanaan, penganggaran sampai pelaksanaan dengan melibatkan orang-orang yang punya posisi penting.
Dalam permusyawaratannya, ada satu orang majelis hakim banding yang mengajukan pendapat berbeda atau dissenting opinion yaitu hakim anggota 3 ad hoc Hening Tyastanto. Hakim Hening menyatakan Kotjo terbukti melakukan korupsi dan menjatuhkan pidana penjara selama 10 tahun dan denda Rp150 juta.
"Dengan peran yang demikian dominan, keuntungan pribadi yang sangat besar belum akibat dari perbuatannya, masyarakat Riau sekarang belum dapat menikmati aliran listrik yang normal atau masih byar pet. Hukuman 4 tahun dan 6 bulan juga benar-benar dirasakan menjadi sangat tidak adil, dimana banyak perkara yang dijatuhi pidana lebih dari itu padahal sifatnya tidak berdampak besar kepada masyarakat dan nilai kerugiannya juga hanya puluhan atau ratusan juga rupiah atau hanya beberapa miliar," demikian disebutkan dalam petikan tersebut.
Dalam perkara ini, Johannes Budisutrisno Kotjo dinilai terbukti menyuap anggota Komisi VII DPR RI dari fraksi Partai Golkar Eni Maulani Saragih sebesar Rp 4,75 miliar. Tujuan adalah agar Eni membantu untuk memperlancar pengadaan proyek IPP PLTU Mulut Tambang 2 x 300 MW di Peranap, Indragiri Hulu, Riau.
"Terdakwa Johannes Budisutrisno Kotjo memberikan uang kepada anggota DPR Eni Maulani Saragih dengan maksud untuk mempercepat mendapat proyek IPP PLTU Riau 1, dimana terdakwa punya 2 kapasitas yaitu pertama sebagai pemilik PT BNR dan PT Samantaka Batubara dan kedua sebagai agen yang ditunjuk CHEC Ltd. Pemberian uang dari terdakwa kepada Eni adalah agar Eni berbuat bertentangan kewajibannya meski Eni tidak punya kewenangan untuk penentuan pelaksanaan proyek-proyek PLN, tapi terdaka tahu Eni dapat memperlancar untuk mendapatkan proyek PLTU MT Riau 1," jelas hakim.