REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta kembali menggelar sidang lanjutan terdakwa mantan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf dan dua dua terdakwa lainnya yakni Teuku Aaiful Bahri dan Hendri Yuzal. Kali ini saksi yang dihadirkan adalah Direktur PT Kenpura Alam Nangro Dedi Mulyadi.
Di depan Majelis Hakim, Dedi mengaku pernah menyerahkan uang Rp 1 miliar kepada anggota DPR RI Nasir Djamil. "Dia anggota DPR RI. Tapi dia tidak tahu apa-apa, yang menawarkan kerjaan si Rizal. Uang diserahkan ke Rizal," ujar Dedi di Ruang Sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (11/2).
Dedi menerangkan, perusahannya merupakan perusahaan yang bergerak di bidang jasa konstruksi. Saat itu, lanjut Dedi, dirinya ditawarkan untuk mengerjakan proyek di bawah Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Adapun, yang menawarkan hal tersebut adalah seseorang bernama Rizal. Menurut pengakuan Dedi, dia kemudian menyerahkan uang Rp 1 miliar kepada Rizal melalui kader Partai Keadilan Sejahteta (PKS) tersebut. "Rizal ini orang dekatnya Pak Nasir Djamil," kata Dedi.
Selain itu, Dedi juga mengakui pernah menyerahkan uang Rp 1 miliar kepada Irwandi Yusuf. Penyerahan uang melalui Saiful Bahri yang dikenal dekat dengan Irwandi. Pemberian uang tersebut bertujuan agar perusahaan Dedi dimenangkan dalam lelang proyek infrastruktur.
"Saya minta Saiful supaya dimenangkan perusahaan saya. Beliau bilang kan ini lebaran, mungkin ada kebutuhan untuk megang," terang Dedi.
Perlu diketahui, Megang adalah acara syukuran yang menjadi tradisi di Aceh menjelang Lebaran. Megang biasanya diadakan oleh para pejabat Aceh, termasuk Gubernur Aceh.
Lebih lanjut Dedi menuturkan, pada awalnya Saiful tidak menyebut nominal uang yang diminta. Karena tak diberi kisaran nominal Dedi pun menawarkan untuk memberikan Rp 500 juta. Namun, menurut Dedi, Saiful memberitahu bahwa dana yang diperlukan bisa lebih dari itu. Sehingga akhirnya muncul kesepakatam memberikan Rp 1 miliar.
Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) mendakwa Gubernur nonaktif Aceh Irwandi Yusuf menerima suap dari Bupati Bener Meriah Ahmadi sebesar Rp 1,05 miliar. Suap tersebut diberikan melalui staf dan orang kepercayaan Irwandi, yakni Hendri Yuzal dan Teuku Saiful Bahri.
Irwandi didakwa menerima suap dari Bupati Bener Meriah Ahmadi melaui Hendri Yuzal dan Teuku Saiful Bahri. Pemberian suap Rp 1,050 miliar diduga secara bertahap, yakni Rp 120 juta, Rp 440 juta, Rp 500 juta.
Menurut jaksa, suap tersebut agar Irwandi mengarahkan Unit Layanan Pengadaan (ULP) Pemerintah Provinsi Aceh memberikan persetujuan terkait usulan dari Ahmadi. Bupati Bener Meriah itu mengusulkan kontraktor yang akan mengerjakan kegiatan pembangunan di Kabupaten Bener Meriah.
Adapun proyek tersebut akan menggunakan anggaran yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus (DOK) Aceh Tahun 2018. Menurut Jaksa, DOK Aceh untuk Kabupaten Bener Meriah sebesar Rp 108 miliar.
Dalam dakwaan, Irwandi juga disebut menerima gratifikasi dua kali. Untuk gratifikasi yang pertama, Irwandi diduga telah menerima gratifikasi Rp 8,7 miliar yang berhubungan dengan jabatannya selaku gubernur Aceh dalam kurun waktu dari 8 Mei 2017 sampai dengan 2018.
Dalam periode itu, Irwandi menerima gratifikasi uang secara bertahap. Pertama, pada November 2017 sampai dengan Mei tahun 2018, Irwandi menerima uang melalui rekening tabungan Bank Mandiri atas nama Muklis sebesar Rp 4,4 miliar.
Kemudian, sekitar Oktober 2017 sampai dengan Januari tahun 2018, Irwandi menerima uang melalui Fenny Steffy Burase sebesar Rp 568 juta dari Teuku Fadhilatul Amri. Penerimaan uang itu setelah ada perintah untuk melakukan transfer dari Teuku Saiful Bahri yang merupakan salah satu anggota tim sukses Irwandi pada Pilkada Gubernur Aceh 2017.
Selain itu, menurut jaksa, sejak April 2018 hingga Juni 2018, Irwandi menerima gratifikasi melalui Nizarli yang merupakan kepala Unit Layanan Pengadaan Provinsi Aceh. Nizarli juga merangkap sebagai Kepala Biro Pengadaan Barang dan Jasa Pemprov Aceh.
Sementara dalam dakwaan gratifikasi yang kedua, Irwandi juga diduga menerima gratifikasi bersama Izil Azhar yang merupakan orang kepercayaannya. Sampai saat ini, Azhar masih masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) karena belum menyerahkan diri ke KPK.
Bersama Azhar, pada waktu-waktu yang tidak dapat ditentukan secara pasti dari tahun 2007 sampai dengan 2012, Irwandi telah menerima gratifikasi sebesar Rp 32,4 miliar yang bersumber dari dana biaya konstruksi dan operasional proyek pembangunan dermaga bongkar pada kawasan perdaganagan bebas dan pelabuhan bebas Sabang Aceh yang dibiayai APBN. Irwandi juga tidak melaporkannya kepada KPK sampai dengan batas waktu 30 hari terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
Menurut Jaksa, perbuatan Irwandi menerima hadiah dalam bentuk uang tersebut haruslah dianggap suap. Sebab, hadiah itu berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban serta tugas terdakwa selaku gubernur Aceh.
Untuk kasus suap, Irwandi didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi joPasal 55 Ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 Ayat 1 KUHP. Sementara untuk dakwaan dua gratifikasinya, Irwandi didakwa melanggar Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.