REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman membantah kabar jika pihaknya telah mendata orang gila, untuk masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu serentak 2019. Arief menegaskan, orang gila tidak punya hak pilih.
"Itu berita hoaks. Kami tidak pernah mendata orang gila untuk keperluan hak suara," tegasnya usai menghadiri rapat koordinasi kehumasan dan hukum di Jakarta, Senin (11/2).
Arief menanggapi pernyataan tersebut, usai mendapat pertanyaan dari seorang pejabat humas dari Pemprov Bengkulu yang menjadi peserta rapat. Menurut pejabat humas itu, di daerahnya beredar isu KPU membolehkan orang gila memberikan hak suaranya pada Pilpres 17 April mendatang.
Arief menjelaskan, KPU hanya mendata warga yang memiliki kesehatan dengan kejiwaan yang terganggu. "Harus dibedakan antara orang gila dan orang yang jiwanya terganggu. Bukan orang gila yang di jalanan enggak pakai baju dan makan apa saja di jalan," ujarnya.
Arief mengaku heran dengan isu yang beredar tersebut jelang Pemilu 2019. Padahal, kata dia, mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2008 telah memutuskan bahwa warga yang memiliki gangguan jiwa tapi punya kesadaran untuk memilih dapat diikutsertakan sebagai pemilih, atau dalam kata lain berhak menyumbangkan pilihan pada pemilu.
Dia menambahkan, pengertian ODGJ bukanlah yang bersifat permanen. Seseorang dapat dikatakan jiwanya terganggu, kata Arief, bisa saja karena stres yang sifatnya musiman bisa dikarenakan masalah kerjaan atau lainnya. Arief menegaskan, KPU hanya mengizinkan ODGJ untuk memilih, bukan orang gila.