REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tidak selalu "buah jatuh dekat pohonnya." Maknanya, seorang anak tidak mesti mengikuti jejak orang tuanya. Inilah yang terjadi pada Ikrimah. Dia merupakan putra ‘Amr bin Hisyam alias Abu Jahal, tokoh Quraisy yang terkenal memusuhi Rasulullah SAW.
Ketika dakwah Islam menyebar terang-terangan di Makkah, Ikrimah sudah berusia dewasa. Namun, pengaruh ayahnya begitu dominan, sehingga membuatnya terpengaruh. Oleh karena itu, kalangan sejarawan menilai, Ikrimah mungkin saja masuk Islam lebih awal bila tidak dihalang-halangi reputasi ayahnya itu.
Ikrimah sendiri termasuk pemuda Makkah yang berpandangan progresif. Di antara kawan-kawannya adalah Sa’ad bin Abi Waqqash dan Mush’ab bin Umair. Mereka lebih suka menghabiskan waktu dengan belajar dan diskusi, alih-alih hura-hura.
Ketika Perang Badar terjadi, Ikrimah ada di sisi ayahnya. Dialah yang menebas lengan Mu’adz bin Afra, pejuang muda Muslim yang berhasil melukai Abu Jahal. Bagaimanapun, nyawa "Fir'aun-nya zaman Nabi SAW" itu tidak terselamatkan.
Beberapa riwayat menyebut, Abu Jahal tewas di depan mata Ikrimah. Sejak saat itu, dia menyimpan dendam kesumat terhadap pasukan Muslim. Pasca-Perang Badar, Ikrimah bersumpah untuk membalaskan kematian ayahnya itu.
Kesempatan datang ketika Perang Uhud terjadi. Bersama dengan istrinya, Ummu Hakam, Ikrimah berupaya memperkuat mental orang-orang Quraisy. Perempuan itu bergabung dalam barisan pengiring yang terletak di belakang pasukan musyrikin. Mereak mendendangkan yel-yel Jahiliyah.