REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengancam akan memveto upaya Kongres untuk mengakhiri dukungan milter AS terhadap koalisi Arab Saudi dalam perang Yaman. Hal tersebut berpotensi memicu pertikaian baru antara pemerintah dan Kongres.
Dua pekan lalu, Partai Demokrat dengan dukungan beberapa anggota Republik telah memperkenalkan resolusi guna mengirim pesan tegas ke Saudi tentang bencana kemanusiaan yang sedang terjadi di Yaman. Demokrat memandang resolusi ini sebagai cara untuk menegaskan hak konstitusional Kongres ihwal penggunaan kekuatan militer dalam konflik asing.
Namun pemerintahan Trump menilai resolusi tersebut tidak tepat. Sebab pasukan AS telah menyediakan bahan bakar pesawat dan dukungan lainnya bagi Saudi dalam konflik Yaman.
Resolusi tersebut, menurut pemerintahan Trump, juga berpotensi merusak hubungan di kawasan dan mencederai kemampuan AS dalam mencegah penyebaran ekstremisme.
Baca juga, Saudi Bantah Keterlibatan MBS dalam Kasus Khashoggi.
Mayoritas anggota Partai Republik juga menentang 'Resolusi Kekuatan Perang' Demokrat. Mereka berdalih dukungan terhadap Saudi dalam konflik Yaman merupakan perjanjian keamanan, bukan penggunaan power atau kekuatan.
Selain perihal krisis Yaman, resolusi yang diperkenalkan Kongres juga mengecam pembunuhan jurnalis Saudi Jamal Khashoggi. Cukup banyak anggota Kongres, baik dari Demokrat maupun Republik, yang gusar karena Gedung Putih gagal memberikan laporan tentang kasus Khashoggi pada tenggat waktu yang telah ditentukan, yakni Jumat pekan lalu.
Padahal laporan itu penting untuk menentukan apakah Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi Pangeran Muhammad bin Salman (MBS) harus dijatuhi sanksi atas dugaan keterlibatannya dalam pembunuhan Khashoggi. Hal itu telah diatur dalam Global Magnitsky Acr (GMA).
Di bawah GMA, seorang presiden memiliki waktu 120 hari untuk menanggapi permintaan dari ketua Hubungan Luar Negeri Senat. "Hukumnya jelas. Presiden tidak memiliki kelulasaan di sini. Dia baik mematuhi hukum atau melanggar hukum," ujar Juan Pachon selaku juru bicara Bob Menendez dari Ranking Member of the Senate Foreign Relations Committee.
Khashoggi, kolomnis the Washington Post, dibunuh dan dimutilasi di gedung konsulat Saudi di Istanbul pada 2 Oktober tahun lalu. Pangeran MBS adalah tokoh yang kerap disebut memerintahkan pembunuhan Khashoggi.
Tudingan kepadanya didasari atas keterlibatan Saud al-Qahtani dalam kasus itu. Al-Qahtani diketahui merupakan tangan kanan Pangeran MBS.
CIA yang turut menyelidiki kasus Khahsoggi memiliki dugaan serupa. Dalam laporannya CIA meyakini Pangeran MBS adalah otak pembunuhan Khahsoggi.