Selasa 12 Feb 2019 17:08 WIB

DKI Ambil Alih Pengelolaan Air, Ini Alasan Anies

Anies memilih opsi penghentian melalui mekanisme perdata.

Rep: Farah Noersativa/ Red: Teguh Firmansyah
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (kedua kiri) mengunjungi Vihara Dharma Bhakti, Petak Sembilan, Jakarta, Selasa (5/2/2019).
Foto: Antara/Dede Rizky Permana
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (kedua kiri) mengunjungi Vihara Dharma Bhakti, Petak Sembilan, Jakarta, Selasa (5/2/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan menuturkan, Pemprov DKI telah mengikuti rekomendasi yang diberikan Tim Evaluasi Tata Kelola Air perihal pengambilalihan air dari pihak swasta. Rekomendasi itu diberikan atas kajian banyak aspek.

"Kita mengikuti rekomendasi yang disusun oleh tim tata kelola air. Jadi tim tata kelola air menyusun studi, mengkaji banyak aspek," kata Anies di Balai Kota DKI Jakarta, Selasa (12/2).

Dalam proses pengkajian semasa enam bulan penugasan, pemprov direkomendasikan untuk mengambil opsi-opsi yang ditawarkan. Anies memilih opsi penghentian melalui mekanisme perdata yang direkomendasikan oleh tim.

Sebelumnya, dalam konferensi pers yang diadakan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta pada Senin (11/2) lalu, dia menyebut langkah pengambilalihan air sangat penting. Tujuan langkah itu, kata dia, adalah mengkoreksi kebijakan perjanjian yang dibuat di masa Orde Baru, tepatnya pada 1997. Selama 20 tahun perjalanan perjanjian ini, pelayanan air bersih di Ibukota tidak berkembang sesuai dengan harapan.

Baca Juga: Anies Pastikan Pemprov DKI Ambil Alih Pengelolaan Air.

Dia menyebut pengelolaan air di DKI Jakarta dengan pihak swasta bermasalah. Anies menjelaskan, setidaknya ada tiga hal alasan adanya permasalahan tersebut.

“Pertama, adalah perjanjian ini bermasalah. Hak esklusifitas. Jadi kita tahu investasi terkait dengan pengelolaan air ini di dalam perjanjian kerja sama harus seizin pihak swasta,” ujar Anies.

Pihaknya mengaku kesulitan, ketika dia berkeinginan menambah jaringan air. Sebab, menurut peraturan, dia harus meminta izin kepada pihak swasta.

Alasan kedua, pengelolaan seluruh aspek seluruhnya ada pada pihak swasta. Aspek itudimulai dari produksi air baku, pengelolaan dan pengolahannya, distribusi, dan pelayanannya.

“Empat-empatnya ada di sana (swasta). Kita sama sekali tidak punya kontrol di sana,” jelas dia.

Kemudian, alasan yang menjadi problema, dalam perjanjian itu harus memberikan jaminan keuntungan 22 persen. Artinya, bila target tidak tercapai, negara masih harus membayar keuntungan kepada swasta.

“Kalau hari ini angkanya tercapai, mungkin lain cerita. Tapi hari ini angka itu tidak tercapai. Target jangkauannya. Tapi negara berkewajiban (membayar),” ujar Anies.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement