Rabu 13 Feb 2019 05:40 WIB

Produk Baja Indonesia tak Lagi Terkena BMAD di Malaysia

BMAD ini seharusnya berlaku lima tahun, dari Februari 2015 sampai Februari 2020

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Pabrik Peleburan Baja
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Pabrik Peleburan Baja

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Produk baja Hot Rolled Coil (HRC) asal Indonesia sudah tidak lagi dikenakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) saat masuk ke Malaysia. Keputusan yang resmi diberlakukan pada Sabtu (9/2) ini merupakan hasil dari tinjauan administrasi Ministry of International Trade and Industry Malaysia (MITI) sejak Agustus 2018.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan, BMAD ini seharusnya berlaku selama lima tahun, yaitu dari Februari 2015 sampai Februari 2020. Tapi, pada perkembangannya, industri dalam negeri Malaysia selaku pemohon BMAD mengalami masalah internal, sehingga menghentikan secara keseluruhan produksi HRC.

"Praktis, sejak 2016, Malaysia tidak lagi mampu memasok HRC ke pasar domestik," ujarnya dalam rilis yang diterima Republika, Selasa (12/2).

Oke mengapresiasi inisiatif PT Krakatau Steel Tbk yang telah mengajukan peninjauan atas pengenaan BMAD HRC asal Indonesia. Menurutnya, pemberhentian operasional industri dalam negeri Malaysia yang memproduksi subyek BMAD menjadi dasar kuat mengajukan peninjauan kembali pengenaan BMAD.

Selain itu, Oke juga mengapresiasi Pemerintah Malaysia yang telah menunjukkan sikap responsif dalam penyelenggaraan peninjauan. Malaysia telah mematuhi peraturan perundang-undangan mereka sendiri.

"Penghentian operasional perusahaan baja Malaysia Megasteel telah mengubah kondisi pasar domestik dan BMAD menjadi tidak relevan lagi karena tidak ada industri dalam negeri Malaysia yang memerlukan perlindungan," katanya.

Sementara itu, Direktur Pengamanan Perdagangan Kemendag Pradnyawati memberikan apresiasi atas komitmen pemerintah Indonesia yang telah memberikan pendampingan Krakatau Steel dalam proses peninjauan ini.

Pradnyawati menjelaskan, pihaknya bersyukur dapat menuntaskan tugas pendampingan dan upaya pembelaan bersama hingga membuahkan hasil yang diinginkan. "Diharapkan, hal ini dapat memperbaiki kinerja ekspor Indonesia dan kondisi industri baja Indonesia itu sendiri," tuturnya.

Pengenaan BMAD oleh Malaysia atas produk HRC Indonesia telah mengganggu kinerja ekspor HRC Indonesia ke Malaysia. Sebelum pengenaan, pada tahun 2014 ekspor HRC ke Malaysia sempat membukukan nilai sebesar 30 juta dolar AS.

Akan tetapi, ekspor tersebut turun menjadi 8,6 juta dolar AS pada tahun pertama pengenaan. Bahkan, selama tiga kuartal pertama 2018 ekspor tersebut turun hingga sebesar 92 ribu dolar AS.

Sebelum Malaysia, pemberhentian bea masuk produk baja Indonesia juga berhasil dilakukan di Australia sejak Desember 2018. Pemerintah Australia memutuskan untuk tidak melanjutkan proses peninjauan kembali pengenaan BMAD sebesar 8,6 sampai 19 persen atas impor produk baja Hot Rolled Plate (HRP) asal Indonesia yang seharusnya berlaku sejak 19 Desember 2013 hingga 19 Desember 2018.

Pradnyawati mengatakan, Kemendag telah menelusuri situs resmi Otoritas Australia dan tidak menemukan langkah lebih jauh dari otoritas untuk memperpanjang BMAD setelah 19 Desember 2017 atau tepat setahun sebelum BMAD berakhir. "Oleh karena itu, sesuai ketentuan Anti Dumping Agreement, pengenaan BMAD tersebut berakhir pada 19 Desember 2018," ujarnya.

Sebelum pengenaan BMAD, Kemendag mencatat ekspor HRP Indonesia ke Australia pada 2012 mencapai sebesar 32 juta dolar AS. Nilai ekspor tersebut terus turun hingga mencapai 1,2 juta dolar AS pada periode Januari hingga September 2018.

Pradnyawati berharap, kedua penghentian BMAD oleh Malaysia dan Australia dapat dimanfaatkan para eksportir baja nasional. Khususnya untuk memulihkan kinerja ekspor yang terdampak akibat adanya BMAD selama beberapa tahun terakhir.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement