REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah optimistis jumlah ekspor kendaraan roda empat utuh atau completely built up (CBU) akan terus tumbuh. Optimisme ini seiring dengan penerapan kebijakan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor 01 tahun 2019 tentang Tata Laksana Ekspor Kendaraan Bermotor dalam Bentuk Jadi (CBU) yang berlaku mulai 1 Februari 2019.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, pihaknya dan industri menyambut baik regulasi tersebut, karena ekspor otomotif diberikan kemudahan. "Ini sangat berarti untuk industri kita yang sedang bersaing dengan negara lain. Selain itu, ini membuktikan bahwa ekspor kita tidak hanya komoditas," ujarnya dalam rilis yang diterima Republika, Selasa (12/2).
Regulasi baru itu menegaskan bahwa Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) dapat diajukan setelah barang ekspor masuk ke Kawasan Pabean. Kemudian, pemasukan ke Kawasan Pabean tidak memerlukan Nota Pelayanan Ekspor (NPE) serta pembetulan jumlah dan jenis barang paling lambat tiga hari sejak tanggal keberangkatan sarana pengangkut.
Penyederhanaan aturan itu dinilai Airlangga dapat membawa sejumlah manfaat. Di antaranya, akurasi data lebih terjamin karena proses bisnis dilakukan secara otomasi melalui integrasi data antara perusahaan, Tempat Penimbunan Sementara (TPS), serta Ditjen Bea dan Cukai.
Selain itu, berpotensi menurunkan average stock level sebesar 36 persen, sehingga meningkatkan efisiensi penumpukan di Gudang Eksportir. Jangka waktu penumpukan di Gudang TPS selama tujuh hari dapat berjalan maksimal karena proses grouping dan finalquality control sebelum pengajuan PEB dapat dilakukan di TPS.
Benefit lainnya adalah menurunkan biaya trucking karena kebutuhan truk untuk transportasi turun sebesar 19 persen per tahun sehingga logistics partner tidak perlu investasi truk dalam jumlah banyak. "Kemudian, menurunkan biaya logistik terkait storage dan handling menjadi sebesar Rp 600 ribu per unit dan biaya trucking menjadi sebesar Rp 150 ribu per unit," kata Airlangga.
Menurut Airlangga, industri otomotif merupakan sektor quick yielding atau cepat menghasilkan untuk devisa melalui peningkatan ekspor. Sebab, struktur manufakturnya sudah dalam, mulai dari industri baja, kimia, kaca, hingga ban. Bahkan, kepercayaan dunia internasional terhadap produk otomotif nasional sudah tinggi.
Airlangga menambahkan, daya saing industri otomotif Indonesia sudah didukung dengan jumlah tenaga kerja dan sektor jasa terkaitnya yang cukup banyak. "Tahun kemarin, ekspor mobil CBU sudah lebih dari 264 ribu unit, dan yang bentuk CKD sekitar 82 ribu unit, sehingga total melampaui 346 ribu unit dengan nilai 4 miliar dolar AS dan tambahan dari ekspor komponen otomotif senilai 2,6 miliar dolar AS," ucapnya.
Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) ekspor mobil utuh sepanjang 2018 tumbuh 14,44 persen menjadi 264.553 unit dibanding tahun sebelumnya. Capaian tersebut merupakan yang tertinggi dari tahun-tahun sebelumnya.
Dengan pencapaian tersebut, Airlangga melihat, Indonesia akan menjadi hub bagi manufaktur industri otomotif, yang kini sedang bersaing dengan India. "Kita punya Detroitnya Indonesia di Bekasi, Karawang dan Purwakarta, di mana strukturnya sudah dalam mulai tier 1, 2, sampai 3. Selain itu, investasi industri otomotif juga akan terus bertambah," ujarnya.
Airlangga menambahkan, Kemenperin juga sedang menunggu percepatan perjanjian kerja sama ekonomi yang komprehensif dengan Australia. Apabila Comprehensife Economics Partnership Agreement (CEPA) dengan Australia itu terbuka, ia memperkirakan, ada 1 juta pasar yang terbuka.