Rabu 13 Feb 2019 18:25 WIB

Kiai Hasan: Golput, Cuek, Apatis tak Dibenarkan dalam Islam

Arti kepemimpinan dalam Islam adalah bentuk kemutlakan yang tidak bisa ditinggalkan.

Rep: Novita Intan/ Red: Andi Nur Aminah
Anggota Dewan Pertimbangan MUI KH Hasan Abdullah Sahal memimpin Rapat Pleno ke-35 Dewan Pertimbangan MUI di Kantor MUI,Jakarta, Rabu (13/2).
Foto: Republika/Prayogi
Anggota Dewan Pertimbangan MUI KH Hasan Abdullah Sahal memimpin Rapat Pleno ke-35 Dewan Pertimbangan MUI di Kantor MUI,Jakarta, Rabu (13/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengingatkan kewajiban bagi umat Islam untuk menggunakan hak pilihnya dalam pemilu legislatif dan pemilihan presiden 2019. Imbauan ini sebagai bentuk sikap tanggung jawab identitas kebangsaan.

Anggota Dewan Pertimbangan MUI KH Hasan Abdullah Sahal mengatakan dalam Islam, arti kepemimpinan merupakan bentuk kemutlakan yang tidak bisa ditinggalkan. Bahkan, sikap golput mencerminkan kepribadian yang apatis.

Baca Juga

“Kepimpinan tidak bisa ditinggalkan, makanya jangan golput. Golput artinya cuek, tidak dibenarkan, apatis. Islam itu hidup untuk bertanggung jawab. Apatis tidak menghasilkan apa-apa kecuali menyesal dan menyesalkan, kecewa dan mengecewakan,” ujarnya saat acara ‘Rapat Pleno ke 35 Dewan Pertimbangan MUI Penyelenggaraan Pemilu/Pilpres 2019 yang Jujur, Adil dan Profesional’ di Gedung MUI, Rabu (13/2).

Menurutnya, masyarakat Indonesia harus bersikap dewasa dalam penyelenggaraan Pemilu tahun ini. Hal ini semata-mata tidak melihat visi misi pasangan capres dan cawapres dalam lima tahun mendatang. “Menyikapi suasana yang panas lebih baik menyikapi dengan kedewasaan. Kita melihat Pemilu jangan berpikir hanya untuk lima tahun ke depan. Identitas bangsa dan kebangsaan, keumatan, kenegaraan untuk selamanya sehingga Indonesia merdeka dan martabat,” ucapnya.

Ia juga menghimbau kepada masyarakat Indonesia tidak menyerahkan tanggung jawab sepenuhnya kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam penyelenggaraan Pemilu. Sebab, Pemilu merupakan tanggung jawab bersama, di mana masyarakat Indonesia dapat turut mengawasi dan mengawal proses Pemilu agar berjalan dengan lancar.

“Pemilu bukan pesta demokrasi tetapi acara amanat kepimpinan umat. Jangan sampai kita golput karena rugi dan merugikan. Lalu langkah ke langkah perlu diperhatikan KPU dan Bawaslu dan semua ikut berpartisipasi, tidak ada saling menyalahkan,” ungkapnya.

Sementara Anggota Kordiv Pengawasan dan Sosialisasi Bawaslu M Afifudddin menambahkan saat ini proses Pemilu sudah sangat terbuka. Dalam artian masyarakat bisa mengkritisi penyelenggara, partai politik dan mengetahui visi misi calon legislatif dan presiden.

“Pemilu sekarang ini sudah sangat terbuka, apa yang tidak bisa dilihat sekarang ini. Artinya dengan proses yang sudah sangat terbuka ini kalau orang baik tidak menggunakan hak pilih jangan sampai Pemilu jatuh kepada orang-orang yang tidak baik. Itulah kami tidak sarankan,” ucapnya.

Menurutnya, kondisi proses Pemilu sekarang ini juga sudah berbeda dengan Pemilu beberapa tahun silam, terutama dalam menggunakan hak pilihanya. Dulu masyarakat Indonesia masih merasa apatis dengan proses Pemilu sekaligus partai politik. “Situasi menggunakan hak pilih tidak seperti dulu, di mana orang apatis dengan proses, apatis dengan partainya. Jadi hal paling baik, berpartisipasi tetapi kami tidak bisa melarang tidak menggunakan hak pilih, karena bagian dari hak menggunakan hak pilih,” ungkapnya.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement