REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Seiring dengan musim penghujan, kerusakan jalur evakuasi di lereng Gunung Merapi yang ada di wilayah Provinsi Jawa Tengah, semakin parah. Kondisi ini dikhawatirkan dapat mengganggu jika jalur evakuasi tersebut dibutuhkan.
Hal ini terungkap dalam Rapat Koordinasi (Rakor) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) se-Jawa Tengah yang dilaksanakan di Gedung B lantai 5, kompleks Sekretariat Daerah (Sekda) Provinsi Jawa Tengah, Rabu (13/2).
Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo mengungkapkan, jalur evakuasi di lereng Merapi –baik yang ada di wilayah Kabupaten Magelang, Klaten, maupun Boyolali kini mengalami kerusakan cukup parah.
Selain akibat dampak curah hujan yang tinggi, kerusakan jalur evakuasi ini juga banyak disumbang oleh tingginya aktivitas truk-truk angkutan galian C, yang ada di ke-tiga wilayah tersebut.
“Terutama oleh truk angkutan galian C (penambangan pasir) yang over dimensi dan over load (ODOL),” kata gubernur, di hadapan peserta rakor BPBD.
Untuk itu, gubernur meminta agar bantuan keuangan provinsi bisa diarahkan oleh masing-masing daerah untuk perbaikan jalur evakuasi bencana Gunung Merapi yang ada di tiga kabupaten tersebut.
Perbaikan ini dinilai sangat mendesak. Karena jika tidak segera diperbaiki, akan mengganggu dan membahayakan warga yang hendak mengungsi jika bencana kegunungapian di wilayah tersebut terjadi.
“Saya minta perbaikan jalur evakuasi ini bisa dilakukan sesegera mungkin setelah bantuan keuangan provinsi cair. Nanti perbaikan jalur evakuasi tersebut yang mengerjakan daerah masing-masing,” tegasnya.
Selain masalah jalur evakuasi yang sudah rusak, gubernur juga mengingatkan kepada ke-tiga daerah ini untuk terus memberikan edukasi tentang mitigasi kebencanaan kepada masyarakat di lereng gunung Merapi.
Termasuk memperkuat sistem koordinasi antarpemangku kepentingan dengan memanfaatkan radio komunitas. Karena kedua hal ini juga akan menjadi faktor penting untuk memperkuat mitigasi kebencanaan.
Sementara itu, Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG), Hanik Humaida menambahkan, aktivitas Merapi saat ini setelah erupsi besar pada 2010, sifatnya kembali ke karakter aslinya.
Yakni ditandai dengan terjadinya erupsi-erupsi kecil sebagai dampak dari aktivitas yang ada di kawah Merapi. “Kendati begitu, yang harus diwaspadai oleh masyarakat yang berada di kawasan rawan bencana (KRB) justru adalah awan panas,” katanya.
Terpisah, Gayatri Indah Marliyani dari Fakultas Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta menegaskan, terkait dengan persoalan Merapi, masyarakat juga perlu diajak membaca potensi kegempaan dan mitigasinya.
Hal ini penting agar masyarakat yang ada di kawasan lereng Merapi paham apa yang harus dilakukan jika bencana vukanologi mengancam. “Sebab, apapun bencananya, dampak paling besar adalah masalah ekonomi,” ujar dia.