REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) menilai pembangunan rumah ibadah sebaiknya tidak perlu menggunakan Peraturan Bersama Menteri (PBM). Sebab, sudah ada aparat yang mengamankan jika ada gangguan kenyamanan.
“Saya pikir rumah ibadah tak diatur-atur seharusnya baik-baik saja. Kalau menyimpang, tangkap saja, kan ada polisi,” kata perwakilan Walubi Rusli Tan kepada Republika.co.id, Rabu (13/2).
Berkaca pada pengalaman, Rusli menceritakan jumlah umat Buddha tidak banyak di Tanah Air. Karena itu, dia mengakui cukup sulit apabila ingin membangun Vihara. “Bahkan ada statement (pernyataan) membuka panti pijat lebih mudah daripada membuka Vihara. Izinnya (panti pijat) lebih cepat,” ujar dia.
Dengan alasan sebagai kaum minoritas yang berjumlah satu jutaan umat, Rusli mengatakan Walubi kerap tidak memiliki ruang. Karena itu, Walubi lebih memilih mengalah dan mengikuti kemauan mayoritas. “Kalau saya pribadi melihat, tak banyak manfaat dari PBM,” kata dia.
Rusli mengingat Presiden keempat Abdurrahman Wahid pernah mengatakan agama adalah kehidupan masing-masing umatnya. Karena itu, tidak perlu mengatur-atur, karena masing-masing memiliki aturannya. Dengan demikian, ketika ada masalah atau membuat tidak nyaman, maka ada aparat yang berwenang menangkap.
“Masyarakat sekitar bisa lapor ke polisi, apa yang diganggu. Saya pikir umat Buddha tak mungkin ganggu orang, itu Klenteng, Vihara sudah tutup sore,” kata dia.
Kendati demikian, Rusli mengatakan Walubi bukan pihak yang berhak mengatakan setuju atau tidak setuju dengan PBM tentang pendirian rumah ibadah. “Menurut saya, rumah ibadah tak perlu 'dikencangi' seperti itu, malah semua agama meminta penganutnya membangun istana Tuhan,” ujar dia.
Rusli tidak menampik keberadaan PBM kerap disalahgunakan sebagai modus tertentu. Sebab, dia mengatakan setiap pihak memiliki kepentingan. “Jangan wariskan kepada anak cucu kita kebiasaan merepotkan orang. Yang paling penting ada IMB (izin mendirikan bangunan), tak perlu lagi macam-macam,” tutur dia.