REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Salah seorang tokoh pendiri Partai Amanat Nasional (PAN), Abdillah Toha menegaskan pentingnya para elite politik nasional untuk dapat mengendalikan diri. Ia pun menyarankan elite politik hendaknya bertutur kata yang santun.
"Kekerasan verbal yang dituangkan dalam perkataan tersebut tidak menutup kemungkinan nengarah pada kekerasan fisik di kalangan pendukung. Terlebih apabila hoaks dan ujaran kebencian itu dikemas atau dikaitkan dengan keagamaan," kata Abdillah dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (13/2).
Abdillah menilai masa kampanye pemilu 2019 ini terlalu panjang. Masyarakat maupun Pemerintah sudah begitu lama membicarakan pemilu dan terus berpikir politik.
Ia pun menyesalkan banyaknya ujaran kebencian dan hasutan selama masa kampanye. "Saya sangat menyesalkan cara-cara kampanye yang mencampur-adukan agama secara keras, karena sangat berbahaya sekali," ujar Abdillah.
Ia menambahkan bahwa kita masih harus terus belajar demokrasi dan pada pilpres 2019 ini terdapat kemunduran. Abdillah mengatakan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah presiden pertama yang dipilih secara langsung oleh rakyat.
Indonesia sebagai negara besar dengan 250 juta penduduk dan 190 juta peserta pemilu menjadikan Pemilu Indonesia sebagai pemilu ketiga terbesar di dunia setelah Amerika dan India. "Indonesia berhasil melaksanakan itu di 2014 dan 2009 dengan baik. Ia juga berharap pemilu kali ini meski panas tapi bisa dilaksanakan dengan baik. Kita harus merasa bangga, jangan sampai kebanggaan kita itu nantinya dirusak," katanya.
Ia menilai, jika situasi politik yang memanas didiamkan, maka dari kekerasan yang bersifat verbal tersebut bisa menjadi kekerasan fisik. "Jangan sampai kita pecah seperti kejadian di Timur Tengah. Apalagi jika ada kekuatan luar masuk. Saya tidak melihat itu semua, tapi kita mesti waspada," ujar Abdillah mengingatkan.
Karena itu, untuk menjaga pemilu 2019 sebagai pemilu yang aman, damai dan kondusif serta terbebas dari hoaks dan ujaran kebencian yang berpotensi memecah belah bangsa, dirinya cukup menghormati aparat keamanan saat ini (Polri), khususnya setelah dibawah komando Jenderal Polisi Tito Karnavian sebagai Kapolri. Ia yakin Kapolri pasti mengetahui apa yang harus dilakukan dan paham dengan batasan-batasan HAM.
Abdillah juga menambahkan dalam mengamankan pemilu yang menggunakan agama, Polri sebagai penegak hukum jangan melihat dari sisi agama. Namun, lebih pada aspek pelanggaran hukum yang dilakukannya.
Sedangkan untuk mengantisipasi hoaks dan ujaran kebencian, menurut Abdillah sudah ada undang-undang anti kebencian yang sebaiknya dilaksanakan. Masyarakat jangan cepat percaya dengan hoaks. Jika ada hal/berita yang aneh-aneh bisa dicek terlebih dulu.
"Jangan cepat jari bergerak. Sekarang ini yang berbahaya bukan hanya mulut bergerak saja. Jika berita-berita baik dan berita sensasional kurang lebih ceknya begitu (melalui internet) dan melalui media-media massa yang bonafit," himbau Abdillah.