Kamis 14 Feb 2019 15:42 WIB

Cendekiawan Inggris Gelar Konferensi Bahas Muslim Uighur

Aktivis Uighur menceritakan penindasan aparat Cina di Xinjiang.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Teguh Firmansyah
Muslim Uighur sedang bercengkerama.
Foto: Uttiek M Panji Astuti
Muslim Uighur sedang bercengkerama.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Sejumlah akademisi, jurnalis, dan cendekiawan di Inggris menggelar konferensi untuk membahas nasib Muslim Uighur di Provinsi Xinjiang, Cina, pada Rabu (13/2). Dalam konferensi tersebut turut diundang aktivis Uighur.

Konferensi itu diselenggarakan Cordoba Foundation, sebuah lembaga penelitian yang berbasis di Inggris. Dr. Anas Altikriti selaku pendiri lembaga tersebut mengundang beberapa tokoh, antara lain anggota parlemen Inggris dari Partai Buruh Emily Thornberry, advokat hak asasi manusia (HAM) internasional Rodney Dixon QC, kepala penelitian di International Observatory of Human Rights (IOHR) Louise Payne-Jones, dan tiga aktivis Uighur, yakni Rahime Mahmut, Mahmut Turdi, dan Aziz Isa Elkun.

Baca juga, Penjelasan Pemerintah Cina Soal Muslim Uighur.

Altikriti menilai konferensi itu penting diselenggarakan. Sebab dengan menghimpun sejumlah tokoh, akan muncul berbagai sudut pandang tentang Muslim Uighur, termasuk beberapa hal yang mungkin belum dibicarakan. "Jadi hari ini kami menyoroti perspektif itu," ujarnya, dikutip laman Anadolu Agency.

Menurut dia, penindasan terhadap Muslim Uighur merupakan genosida budaya. Cordoba Foundation, kata Altikriti, akan mengadakan sejumlah sesi yang luas dan mendalam selama beberapa bulan atau tahun mendatang guna meningkatkan kesadaran publik tentang keadaan buruk orang-orang Uighur.

Pada konferensi tersebut, aktivis Uighur Rahime Mahmut mengisahkan bagaimana dia terpisah dengan keluarganya di Xinjiang. "Selama 18 tahun terakhir saya tidak dapat kembali untuk melihat keluarga saya dan Tanah Air tercinta karena keterlibatan saya dalam berbicara menentang pelanggaran HAM yang dipaksakan pada rakyat saya oleh Pemerintah Cina," ujarnya.

Selama dua tahun terakhir, Mahmut juga tidak bisa lagi menjalin komunikasi dengan keluarganya. Hal itu lantaran keluarganya takut pasukan keamanan akan menahan mereka jika tepergok berkomunikasi dengan ia.

Sebelum memutuskan kontak, adiknya berpesan agar menyerahkan nasib seluruh anggota keluarga kepada Tuhan. "Dia secara tidak langsung mengatakan kepada saya 'jangan hubungi kami lagi', dan sampai hari ini saya tidak tahu bagaimana mereka, apakah mereka aman," kata Mahmut.

Aktivis Uighur lainnya, Mahmut Turdi, berbicara tentang pengalamannya ditahan dan diinterogasi di kota asalnya, Karamay. "Dua hari setelah pernikahan saya, saya tahu ada pasukan keamanan Cina di belakang kami dan mereka telah membawa saya dari kamar ke hotel setempat dan saya tidak tahu bahwa mereka juga mengambil istri saya," ungkap Turdi.

"Saya diinterogasi selama dua hari karena identitas saya dan karena saya belajar di Barat, mereka (pasukan keamanan Cina) paranoid dengan siapa saya bergaul," ujar Turdi menambahkan.

Setelah kembali ke Inggris pada 2003, paspor Turdi dibatalkan dan dia dilarang mengunjungi keluarganya di Turkistan Timur. Dengan demikian, sudah 15 tanun dia tidak melihat atau berbicara dengan keluarganya. Sama seperti Mahmut, Turdi sama sekali tidak tahu apakah keluarganya dalam keadaan aman atau tidak.

Rodney Dixon dan Louise Payne-Jones menggambarkan Xinjiang seperti kota polisi. Pengintaian dan pengumpulan intelijen menyerang kehidupan pribadi orang-orang Uighur. Hal itu menghancurkan budaya dan agama yang mereka anut.

Dixon dan Jones mengkhawatirkan tentang dibangunnya kamp-kamp konsentrasi di sana. Kamp yang disebut Pemerintah Cina sebagai tempat reedukasi, menurut mereka, adalah pusat penghancuran budaya Uighur. Sebagai gantinya mereka digiring ke dalam budaya Han Cina yang dominan.  Buktinya, Muslim Uighur dilarang mempraktikan prinsip dasar iman mereka.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement