REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah terbentuk pada 1928, makin banyak orang tertarik untuk bergabung dengan Ikhwanul Muslimin (IM). Mereka adalah orang Islam yang berasal dari macam-macam kalangan, mulai dari mahasiswa, pekerja, hingga staf administrasi pemerintahan.
Namun, pemerintah Mesir kala itu mulai mengawasi gerak-gerik IM. Apalagi, sang pendiri yakni Hasan al-Bana sejak awal sudah bersikap kritis terhadap kekuasaan. IM pun banyak menyuarakan kegelisahan publik yakni betapa rezim saat itu kurang sejalan dengan kepentingan rakyat.
Dalam konteks itu, terjadi hal yang tidak disangka-sangka. Pada 12 Februari 1949, Hasan al-Bana ditembak orang tak dikenal--kuat dugaan anggota biro intelejen Mesir saat itu. Waktu mengalami insiden tersebut, Hasan sedang dalam perjalanan ke markas IM. Akhirnya, sosok mujahid dakwah tersebut menghembuskan nafas terakhir beberapa lama kemudian pada hari yang sama.
Intimidasi atas IM tidak berhenti di sana. Penguasa kemudian menggencarkan penangkapan atas keluarga almarhum dan sejumlah anggota serta simpatisan IM. Pemakaman tokoh modernis Islam itu bahkan tampak dihalang-halangi penguasa Mesir saat itu. Rezim setempat ingin prosesi tersebut hanya dihadiri keluarga terdekat Hasan al-Bana.
Kompleks Permakaman Imam Syafii di Kairo menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi pejuang ini. Sepanjang hayatnya, Hasan al-Bana telah menghasilkan banyak karya. Dua di antaranya yang mengemuka adalah Mudzakkirat al-Dakwah wa Da’iyah dan Majmu’ah Rasail.
Buku pertama itu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi Memoirs, sedangkan yang kedua terdiri atas beberapa risalah tentang akidah, dakwah, politik keumatan, nasionalisme, dan imbauan-imbauan kepada penguasa. Sampai hari ini, buku-buku Hasan al-Bana masih terus dibaca dan menginspirasi banyak umat Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Baca juga:
- Mengenal Hasan al-Bana, Sosok di Balik Ikhwanul Muslimin (1)
- Mengenal Hasan al-Bana, Sosok di Balik Ikhwanul Muslimin (2)