REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian mengakui keterlambatan dalam mengantisipasi kekurangan jagung saat paceklik. Hal ini disebabkan oleh pendataan dan sistem informasi yang kurang baik.
Deputi Koordinasi Pangan dan Pertanian Kemenko Perekonomian Musdhalifah Machmud mengatakan pemerintah lebih ketat dalam mengatur importasi jagung dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini agar bisa memperluas tanaman jagung guna memenuhi kebutuhan dalam negeri.
"Tetapi kami melihat ada hal-hal yang tidak terukur, mungkin pendataan kita kurang tersistem dengan baik sehingga kami terlambat mengukur kekurangan. Akhirnya kami baru melakukan pencukupan kebutuhan peternak pada saat-saat terakhir," kata Musdhalifah pada diskusi yang diselenggarakan di Menara Kadin, Jakarta, Kamis (14/2).
Baca juga, Atasi Kelangkaan Jagung, Pemerintah Perbaiki Data
Ia mengatakan kesalahan pendataan akhirnya mengakibatkan selisih terhadap perhitungan kebutuhan jagung untuk industri kecil dan menengah.
Musdhalifah menilai Kementerian Pertanian dan BPS perlu memperbaiki data dan sistem informasi tanaman jagung. Ia berharap agar ada sinkronisasi data antara jumlah produksi dan kebutuhan jagung terutama musim paceklik.
"Kalau kita lihat di Jawa masih banyak yang belum mendapat jagung, tetapi di Sumatra Utara panen raya besar. Kemana jagung itu pergi? Mungkin industri kita menyerap besar sekali dan ini perlu diantisipasi lebih baik lagi," katanya.
Seperti diketahui, pemerintah telah mengeluarkan izin impor jagung dengan total 280.000 ton dalam tiga tahap selama Desember 2018 sampai Januari lalu. Impor jagung ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak dan menekan harga jagung yang kian mahal hingga mencapai Rp 5.000 per kilogram di tingkat petani.