REPUBLIKA.CO.ID, BENGKULU -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) memanfaatkan momentum pembukaan Tanwir Muhammadiyah kedua tahun 2019 di Bengkulu untuk menyampaikan capaian kinerja pemerintah selama 4,5 tahun. Sejumlah isu yang disampaikan Jokowi di hadapan ribuan keluarga persyarikatan Muhammadiyah yakni pembangunan infrastruktur, anggapan bahwa Jokowi antek asing dan PKI, hingga tudingan kriminalisasi ulama yang sempat dilontarkan kepada Jokowi.
Pidato Jokowi soal isu-isu tersebut disampaikannya setelah pesan-pesan Kemuhammadiyahan disebutkan di awal sambutan.
"Mumpung forumnya bagus," ujar Jokowi di hadapan peserta Tanwir Muhammadiyah di Bengkulu, Jumat (15/2).
Soal infrastuktur, Presiden mengajak hadirin kilas balik ke tahun 1978 saat Tol Jagorawi pertama kali dibangun. Jokowi menyebutkan bahwa saat itu nyaris seluruh negara di Asia Tenggara menoleh ke Indonesia karena menjadi salah satu yang terdepan dalam pembangunan infrastruktur.
Namun 40 tahun setelahnya, saat ini, Indonesia justru tertinggal dalam hal kelengkapan infrastruktur dibanding negara-negara lain seperti Malaysia, Singapura, dan Cina.
"Selama 40 tahun kita bangun 780 km jalan tol, Malaysia sekarang 1.800 km jalan tol. Dan bahkan yang paling ekstrem Cina 280.000 km jalan tol. Saya lihat di lapangan kita lamban karena pembebasan lahan," kata Jokowi, Jumat (15/2).
Berdasarkan pandangannya itu, Jokowi memutuskan untuk menjadikan pembangunan infrastruktur sebagai fokus di pemerintahannya. Isu kedua yang disampaikan Jokowi adalah tudingan bahwa dia antek asing.
Jokowi menampik tudingan ini dengan menyebutkan kebijakannya dalam mengembalikan hak kelola Blok Mahakam dari Total kepada Pertamina dan Blok Rokan dari Chevron kepada Pertamina. Jokowi juga menyampaikan capaiannya dalam merebut saham mayoritas Freeport Indonesia menjadi 51,2 persen.
Isu lain yang disampaikan adalah soal PKI. Jokowi menyampaikan bahwa dirinya lahir tahun 1961, sementara peristiwa pembubaran PKI terjadi tahun 1965-1966. Artinya, ujar Jokowi, dirinya tidak mungkin terlihat dalam gerakan komunis.
Kemudian soal kriminalisasi ulama, Jokowi juga menyinggung hal ini di hadapan peserta Tanwir Muhammadiyah. Menurutnya sebagai negara hukum, Indonesia tidak mungkin menyeret ulama tak bersalah ke ranah hukum.
"Kalau orang tidak masalah tapi disel baru itu kriminalisasi. Kalau punya masalah hukum dan harus berhaapan dengan aparat hukum ya itu ada kesalahan yang harus dijalani," katanya.
Namun di luar isu-isu itu, Presiden juga mengapresiasi Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang banyak berkontribusi terhadap pembangunan bangsa. Jokowi memandang adanya ribuan unit badan usaha Muhammadiyah terutama yang bergerak di pendidikan dan kesehatan telah ikut membangun Indonesia.
Bahkan Jokowi menyebut bahwa Ibu Negara Iriana menempuh kuliah di Universitas Muhammadiyah Surakarta dan cucunya, Jan Ethes, lahir di PKU Muhamadiyah Surakarta.
"Yang terakhir saya ingin ingatkan bahwa bangsa ini bangsa besar dengan penduduk 260 juta kita dianugerahi perbedaan suku, agama, ras, saya ajak merawat persaudaraan ukhuwah," katanya.