REPUBLIKA.CO.ID, BENGKULU — Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir mengatakan pencerahan yang diajarkan Islam melekat dengan kerisalahan Nabi Muhammad SAW sebagai rasul ketika menerima wahyu iqra’ di Gua Hira.
"Iqra’ tidak hanya ajarkan manusia secara verbal, tetapi membaca Alquran dan ayat-ayat kauniyah yang setiap insan memiliki ilmu dan hikmah iman dan amal serta akal budi yang utama," kata Haedar dalam pembukaan Sidang Tanwir 2019 Muhammadiyah di Bengkulu, Jumat (15/2).
Haedar mengatakan, iqra’ mengajarkan manusia dengan kalam mendorong setiap insan Muslim untuk memahami agama dan kehidupan semesta dengan kaca mata bayani, burhani, dan 'irfani yang dipedomani Majelis Tarjih Muhammadiyah.
"Islam juga mengajarkan ajaran tentang kemuliaan akal budi. Sebagaimana misi kerisalahan Nabi," katanya.
Menurut Haedar, jika Islam sebagai ajaran pencerahan untuk memuliakan akal budi manusia dan benar-benar dipraktikkan dalam kehidupan setiap Muslim, mereka akan menjadi cerah hati pikiran, sikap, dan tindakan dengan demikian dapat memancarkan rahmat bagi semesta alam.
"Muslim yang tercerahkan oleh ajaran Islam. Insya Allah tidak akan mudah menebar marah dan segala aura dalam kehidupan lingkungan dan alam semesta," katanya.
Bahkan kata Haedar, Muslim yang tercerahkan dia selalu menggelorakan amal salih, amar ma’ruf nahi munkar. Bahkan ketika nahi munkar pun Muslim melakukannya dengan cara yang maruf dan tidak dengan cara yang mungkar.
"Itulah misi pencerahan Islam yang digoreskan Rasul selama 23 tahun yang melahirkan Madinah dari dusun kecil, tradisional menjadi kota peradaban yang cerah mencerahkan," katanya.
Dari kota Madinah itulah, kata Hadir, lahir enam peradaban, enam kejayaan Islam yang lahirkan pencerahan untuk semesta alam. Beragama yang mencerahkan dapat membangun ke hadapan publik berbangsa dan bernegara.
"Dalam kehidupan berbangsa saat ini. Alhamdulillah masih ada nilai positif yang bersemi dan tumbuh dalam bangsa yakni ruh toleransi, kedamaian, taawun kegotongroyongan dan semangat untuk maju bersama," katanya.
Namun arus besar itu, kata Haedar, tekadang terkalahkan oleh bertumbuhnya kecenderugan orientasi politik yang mulai mengeras sehingga satu sama lain mudah terbelah, berbenturan, dan kadang saling berhadapan atas nama kontestasi politik tang tidak terhayati nilai-nilai luhur bangsa.
"Politik yang mengeras, lalu menjadi urusan hidup mati dan melahirkan perangai politik yang fanatik buta demi kemenangan politik semata," katanya
Padahal, politik bukan lagi urusan muamalah duniawiyah yang dasar hukumnya kebolehan yang memberikam ruang bagi perbedaan dan toleransi, melainkan menjadi urusan keyakinan secara absolut sesuai tafsir pandangan dan kepentingan yang menstruktur.
"Politik kadang beraroma genting sehingga suasana fanatik dan keras itu munculkan sebagian kecil aura untuk saling berhadapan seolah-olah politik perang kurusetra dalam kisah jawa kuno baratayuda di era kekuasaan Jayabaya perang saudara antara kerajaan Kediri dan Jenggala," katanya
Padahal, menurut Haedar dua kerajaan itu satu rumpun dalam dinasti raja Airlangga.
Haedar berharap situasi politik lebih mengarah pada aura kekuatan masyarakat yang secara umum masih dambakan nilai-nilai politik adiluhung.
"Insya Allah kami yakin dalam kehidupan kebangsaan kita masih banyak elite dan warga bangsa yang memiliki cerah hati dan sikap untuk menyebarkan dan mewujudkan kehidupan politik kebangsaan yang cerah dan mencerahkan," katanya.