Jumat 15 Feb 2019 19:53 WIB

Pesan Headar untuk Aktivis yang Terlibat Kontestasi Politik

Muhammadiyah tidak melarang kader-kadernya terjun ke politik

Rep: Ali Yusuf/ Red: Hasanul Rizqa
Presiden Joko Widodo (kedua kanan) bersama Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir (kedua kiri), Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah (kiri), Ketua pimpinan wilayah Muhammadiyah Bengkulu Syaifullah (kanan) menghadiri pembukaan Tanwir Muhammadiyah di Balai Semarak Bengkulu, Jumat (15/2/2019).
Foto: Antara/David Muharmansyah
Presiden Joko Widodo (kedua kanan) bersama Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir (kedua kiri), Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah (kiri), Ketua pimpinan wilayah Muhammadiyah Bengkulu Syaifullah (kanan) menghadiri pembukaan Tanwir Muhammadiyah di Balai Semarak Bengkulu, Jumat (15/2/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, BENGKULU -- Dalam menghadapi pemilihan umum (pemilu) tahun ini, Muhammadiyah tetap berposisi di wilayah non-politik praktis. Hal itu ditegaskan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dalam kesempatan sidang tanwir organisasi tersebut di Bengkulu.

“Muhammadiyah tidak berafiliasi pada partai politik tertentu serta tidak terlibat dalam kegiatan politik-praktis politik kekuasaan, power struggle,” ujar Haedar Nashir di Gedung Hasan Din Lt 6 Universitas Muhammadiyah Bengkulu (UMB), Jumat (15/2).

Baca Juga

Meski demikian, Haedar melanjutkan, organisasi ini tidak melarang kader-kadernya untuk terjun ke dunia politik. Menurut dia, warga Muhammadiyah perlu berperan, sehingga tidak boleh apatis terhadap perjuangan di ranah politik. Sebab, itulah salah satu cara positif sebagai wujud bermuamalah.

Karena itu, dia menyampaikan pesan-pesan kepada warga Muhammadiyah yang sedang terlibat dalam politik praktis. Haedar ingin mereka tetap memiliki sikap yang mencerahkan. Selain itu, diharapkannya agar mereka tidak membawa-bawa organisasi ini ke percaturan politik-praktis atau politik kekuasaan, apalagi dengan sikap yang tidak mencerahkan kehidupan umat dan bangsa.

“Sebagaimana dalam bidang kehidupan lain, dengan prinsip-prinsip etika atau akhlak Islam dengan sebaik-baiknya dengan tujuan membangun masyarakat Islam yang sebenar-benarnya,” jelas dia.

Haedar melihat adanya kubu-kubuan yang mengeras pada tahun ini. Hal itu tampak dari relasi sosial, baik secara langsung maupun via media sosial.

Dia menilai, nuansa politik yang cenderung saling menegasikan, menghujat, dan membenci perlu disudahi. Pandangan yang serba memutlakkan atau fanatisme buta dalam dukung-mendukung tidak akan mencerdaskan publik.

“Ruang toleransi, kedewasaan, kearifan, dan sikap cerdas seolah menyempit, sehingga satu sama lain menjadi aktor true-believer atau sosok-sosok fanatik-buta,” ucap dia.

Cendekiawan asal Bandung, Jawa Barat, itu memandang, kehidupan politik saat ini mulai kehilangan moderasi. Padahal, hal itulah yang sangat diperlukan, sebagaimana agama Islam mengajarkan tawasuth atau wasathiyah.

“Nabi SAW seperti yang diriwayatkan Baihaqi mengajarkan, khair al-umur auwsthuha atau sebaik-baik urusan ialah yang tengahan, bahkan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 143 memerintahkan umat untuk menjadi ummatan wasatha,” papar dia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement