REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Secara ekonomi, keluarganya serba berkecukupan. Udin pun tumbuh menjadi pribadi yang tangguh. Sering kali, sosok yang kelak terkenal sebagai KH Zainuddin MZ itu membantu ibunya berdagang kecil-kecilan.
Pendidikan dasarnya diperoleh di SD Kramat Pela. Sebagai murid, Udin termasuk cemerlang. Hal itu dibuktikan, antara lain, dengan tawaran akselerasi dari gurunya. Jadilah dirinya lompat satu tingkat, dari seharusnya naik ke kelas tiga menjadi kelas lima.
Pada 1964, Udin lulus SD dengan nilai gemilang. Cita-citanya tinggi, seperti umumnya anak-anak Jakarta. Awalnya ingin menjadi pilot atau dokter. Namun, kakeknya tidak melihat pendidikan formal terlalu penting untuk masa depan.
“Lihat encing (paman) lu yang lulus SMA. Ijazahnya kagak laku. Gua kapok masukin anak ke SMP atau SMA,” katanya.
Mendengar itu, Udin hanya bisa diam. Toh kakeknya itu ingin yang terbaik. Dia lebih suka cucuknya itu menekuni ilmu-ilmu agama. Karenanya, Udin dimasukkan ke Madrasah Ibtidaiyah Manarul Islam.
Karena ditempatkan di kelas lima, Udin merasa ini sebuah kemunduran. Dia juga kaget dengan sistem yang ada. Sebab, belum pernah sebelumnya dia mempelajari buku-buku berbahasa Arab. Di sekolah ini, hampir seluruh materi membicarakan agama Islam, tepatnya mencakup 70 persen dari total kurikulum.
Apa daya, Udin menjadi tidak begitu unggul. Namun, guru-gurunya tetap bersimpati kepadanya. Atas saran mereka pula, dia secara diam-diam mengikuti tes masuk Madrasah Tsanawiyah (MTs) Darul Ma’arif.
Lembaga yang berlokasi di Cipete, Jakarta Selatan, itu didirikan tokoh kenamaan Nahdlatul Ulama (NU) KH Idham Chalid. Di antara teman-teman setingkatnya adalah Tutty Alawiyah dan Suryani Taher—kelak keduanya masyhur di dunia dakwah nasional. Singkat cerita, Udin akhirnya lolos ujian tersebut dan berhak masuk Mts Darul Ma'arif.
Menggemari Sastra
Di asrama Darul Ma’arif, Zainuddin mulai serius mempelajari kitab-kitab klasik serta mengaji Alquran dan Sunnah. Dia juga terlibat aktif dalam setiap diskusi pelajaran. Teman-temannya kian bertambah dari hari ke hari.
Malahan, anak muda ini terkenal di antara kawan-kawannya sebagai “tukang dongeng muda”. Sebab, dia begitu gemar menceritakan bacaan-bacaan sastra kepada mereka. Sejak SD, Zainuddin memang sudah melahap banyak buku sastra, semisal novel-novel karya Buya Hamka, Marah Rusli, dongeng 1001 malam, dan cerita silat Kho Ping Hoo.
Saat berusia remaja, dia meneruskan sekolah di Madrasah Aliyah, masih sekompleks di Darul Ma’arif. Sewaktu duduk di kelas dua, bertemulah untuk pertama kali dengan perempuan yang kelak menjadi istrinya, Siti Khalilah.
Muda-mudi itu ternyata saling suka. Keduanya kerap berpapasan saat aktif di organisasi Ikatan Pelajar Tsanawiyah-Aliyah, meski tidak sampai berpacaran.
Khalilah sempat pindah ke MA Negeri Mampang Prapatan, tetapi Zainuddin selalu menyempatkan diri untuk bertemu, sekadar bertegur sapa.
Akhirnya, pemuda ini memberanikan diri untuk melamar sang pujaan hati. Ibu dan neneknya merestui. Bakal mertuanya, Ayub, juga akhirnya menerima.
Pada 4 Februari 1972, Zainuddin dan Siti Khalilah menikah dengan resepsi sederhana menggunakan adat Betawi. Saat itu, sang mempelai pria tercatat sebagai mahasiswa di Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin, IAIN Syarif Hidayatullah (kini UIN Ciputat).