Ahad 17 Feb 2019 06:17 WIB

Curhatan Politisi Muslimah Eropa

Muslim yang mengenakan busana muslim di Eropa itu kerap menjadi sorotan tajam media.

Rep: Andrian Saputra/ Red: Didi Purwadi
Mahinur Ozdemir
Foto: EPA/Benoit Doppagne
Mahinur Ozdemir

REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Tak mudah memang menjadi seorang muslimah di benua biru Eropa. Muslimah di Eropa kerap menghadapi kesulitan dalam hal pekerjaan dan pendidikan di Eropa lantaran perlakuan diskriminatif terhadap muslimah.

Kesulitan itu yang disampaikan politisi muslimah kelahiran Belgia, Mahinur Ozdemir (36 tahun). Sebagai muslimah, dia pun menghadapi kesulitan dalam pekerjaan, pendidikan hingga politik.

''Menjadi muslim di Eropa itu sulit, tapi menjadi seorang muslimah dalam penampilan lebih sulit,'' kata Ozdemir dalam sebuah diskusi di Yayasan Pemikir Turki untuk Penelitian Politik, Ekonomi dan Sosial (SETA) di Berlin, Jerman, seperti dilansir Anadolu Agency, pada Sabtu (16/2).

Tak hanya itu, menurut Ozdemir, seorang muslim yang mengenakan busana muslim di Eropa itu kerap menjadi sorotan tajam utamanya dari media. ''Anda tak punya hak untuk menjawab dan anda bisa masuk daftar hitam,'' katanya.

Ozdemir mencatat sejarah sebagai anggota parlemen Belgia dan di Eropa yang pertama kali mengenakan hijab. Pada 2015, Ozdemir pernah didepak dari Partai Humanis Democratic Center (CDH) lantaran menolak mengakui genosida Armenia.

Ozdemir mengungkapkan dirinya tertarik untuk membantu Belgia melalui politik  meskipun menghadapi kesulitan. Ia pun sangat senang menjadi Muslim di Eropa.

Turki menolak tuduhan genosida Armenia dengan mengatakan kematian orang Armenia di Anatolia timur pada 1915 terjadi ketika beberapa pihak memihak Rusia dan memberontak melawan pasukan Ottoman. Pemindahan warga Armenia selanjutnya menghasilkan banyak korban.

Sementara politisi Turki-Jerman, Bulent Guven, juga pernah menghadapi hal yang sama seperti Ozdemir. Guven dikeluarkan dari anggota partai Sosial Demokrat Jerman ketika didapati istrinya mengenakan hijab.

Menurutnya, Islamphobia di Eropa bangkit seiring banyaknya muslim yang datang ke benua Biru itu. ''Eropa punya Islamfobia,'' kata Guven.

Dia juga menambahkan hal tersebut setelah banyaknya muslim yang datang ke benua itu pada 1960an. ''Islamophobia mencapai puncak baru pada tahun 2015 ketika banyak warga Suriah dan Afghanistan bermigrasi ke Eropa,'' katanya.

Muslim Suriah telah datang ke Eropa terutama sejak 2011 ketika perang saudara Suriah pecah. Mereka memilih meninggalkan tanah kelahirannya untuk mencari keamanan dan hidup yang lebih baik.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement