REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Memasuki era Reformasi, KH Zainuddin MZ tidak surut memberikan sumbangsih di dunia politik praktis. Dia melihat, korupsi tidak mereda dengan tumbangnya rezim Orde Baru, yang menguasai Indonesia delapan windu lamanya.
Sejak 1999, suami Hj Siti Kholilah itu duduk sebagai ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Namun, pada 20 Januari 2002, dia dan rekan-rekan yang sehaluan mendirikan PPP Reformasi. Organisasi itu lantas berubah lagi menjadi Partai Bintang Reformasi (PBR).
Keputusan itu terjadi sesudah Muktamar Luar Biasa di Jakarta. PBR dimaksudkan sebagai fusi dari empat partai yang pernah mengikuti Pemilu 1999, yakni Partai Indonesia Baru, Partai Ummat Muslimin Indonesia, Partai Kebangkitan Muslim Indonesia, dan Partai Republik.
Logo Partai Bintang Reformasi
Di PBR, KH Zainuddin MZ sempat diusung menjadi calon presiden RI. Namun, manuver politik kemudian terjadi kepadanya. Memang, dai "sejuta umat" ini punya sifat selalu menilai orang lain apa adanya, tanpa berpretensi curiga-mencurigai.
Singkatnya, dunia politik dipandangnya bukan abu-abu. Padahal, dalam politik, teman abadi adalah kepentingan, bukan manusia dengan segala empati dan perasaan peduli. Alhasil, KH Zainuddin MZ terpental dari sentral kekuasaan di sana.
“Almarhum polos saja memandang orang,” kata salah seorang anaknya, Luthfi Manfaluti, saat diwawancarai Republika, 9 Juli 2011 silam. Meskipun sempat merasakan kursi ketua umum di PBR, KH Zainuddin MZ justru tersisih.
Berawal dari PBR yang mengalami konflik internal. Pengurus yang sedang berkuasa kemudian memecatnya dari keanggotaan partai. Bagi Luthfi, ayahnya hanyalah korban intrik.
Beberapa pihak memanfaatkan keikhlasan KH Zainuddin MZ demi keuntungan pribadi. Meskipun keluarganya mendesaknya untuk melawan, sang kiai tetap saja kalem menghadapi intrik tersebut.
Pada 2008, pendakwah ini sempat kembali ke PPP setelah didekati ketua umum partai itu. Momentumnya satu tahun menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009. Namun, pada akhirnya dia memilih keluar sama sekali dari dunia politik.
Dalam sebuah wawancara, KH Zainuddin MZ menekankan, keahlian seorang kiai terletak di bidang agama, bukan politik. Oleh karena itu, lanjutnya, panggung politik bukanlah dunia mubaligh.
Baca juga: KH Zainuddin MZ, Sang Dai 'Sejuta Umat' dari Betawi (5)
Peraih doktor kehormatan dari Universitas Kebangsaan Malaysia itu lantas mengutip sebuah hadits Nabi Muhammad SAW yang mengajarkan, bila sesuatu diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.
“Saya membuktikan itu saat aktif di panggung politik selama 3,5 tahun. Karena itu, saya kembali ke habitat untuk berdakwah kepada umat,” katanya saat berceramah dihadapan ratusan warga Surabaya, Jawa Timur (Republika, 24/5/2010).