REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seseorang dapat memandang dunia politik dan dakwah sebagai sama-sama jalan perjuangan untuk mewujudkan Indonesia yang sejahtera, berkeadilan, dan maju. Inilah yang diyakini KH Zainuddin MZ.
Bagi dia, setiap orang Islam semestinya keluar dari jebakan-jebakan duniawi. Penceramah itu mengingatkan, umat Islam di Indonesia masih kurang serius menanggulangi tiga penyakit cinta dunia yang disingkatnya “kudis”, “kurap”, dan “kutil.”
Maksudnya, “kudis” adalah ‘kurang disiplin’; “kurap” itu ‘kurang rapi’; sedangkan “kutil” itu ‘kurang teliti’. Ketiga penyakit sosial itu menghinggapi masyarakat karena mereka masih “kuman” alias ‘kurang iman.’
Demikianlah narasi dakwah sang dai "sejuta umat." Dalam setiap ceramahnya, dia kerap menyelipkan bumbu humor yang cerdas sekaligus tajam.
“Penyakit fisik itu masih mudah disembuhkan dengan datang ke dokter, tapi penyakit jiwa dapat disembuhkan dengan datang ke ulama, kembali kepada agama,” kata dia mengingatkan.
Melewati Onak Kehidupan
KH Zainuddin MZ menapaki perjalanan hidupnya sebagai mubaligh dari nol, seperti diceritakan putra pertamanya, Fikri Haykal, kepada Republika pada 7 Juli 2011 silam.
Fikri menuturkan, ayahnya kerap berceramah tanpa bayaran sepeser pun saat namanya masih dikenal sebatas wilayah-wilayah tertentu di Ibu Kota. Pernah suatu ketika, KH Zainuddin MZ diberi amplop yang lantas diketahui isinya kosong sesudah mengisi kajian di suatu tempat di Jakarta.
Rupa-rupa pengalaman telah dilaluinya dalam meniti jalan dakwah. Kemampuan retorikanya kian berkembang setelah lulus dari Perguruan Darul Ma’arif yang diasuh tokoh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Idham Chalid.
Dia belajar banyak hal dari sosok yang kini termasuk Pahlawan Nasional itu. Selain gaya ceramah Idham Chalid, dia juga menggemari retorika presiden pertama Repuublik Indonesia, Sukarno.
Namun, berbeda dengan Bung Karno, narasi utama yang hendak dibawakannya tidak semata-mata kebangsaan, melainkan juga agama. Dari menyimak Presiden Sukarno, Kiai Zainuddin memeroleh banyak inspirasi tentang keberagaman dan nasionalisme.
Pada masa awalnya sebagai penceramah, KH Zainuddin MZ sempat mengalami demam panggung. Keringat dingin terasa sesaat sebelum tampil di podium. Untuk mengatasi hal itu, dia selalu mempersiapkan bahan serta menuliskan kerangka alur ceramah yang hendak disampaikannya.
Seiring waktu, kebiasaan ini mulai ditinggalkan. Sebab, persiapannya cukup hanya dengan membaca beberapa buku yang relevan, sedangkan kerangka alur sudah tercipta di benaknya menjelang ceramah.
Buku menjadi santapan wajib demi menambah wawasan. Fikri Haykal mengungkapkan, ayahnya memiliki perpustakaan pribadi dengan koleksi ribuan eksemplar buku. Di antaranya terdapat kitab tafsir al-Kabir karya Fakhruddin al-Razi, at-Thabari, dan buku tafsir Alquran oleh Ibnu Katsir.
Ada pula buku-buku terkait hadits, semisal Shahih Bukhari dan Muslim serta macam-macam kitab tentang sejarah kehidupan Rasulullah SAW. Sumber bahan ceramahnya juga berupa teks berita-berita yang memuat isu-isu aktual, baik terkait daerah, nasional, maupun internasional.
Semua itu diraciknya dengan tidak lupa menyelipkan humor-humor khas Betawi, yang luwes tetapi sarat pesan moral.
Baca juga: KH Zainuddin MZ, Sang Dai 'Sejuta Umat' dari Betawi (6)
Menurut Fikri, di tengah kesibukan berdakwah, ayahnya tetap menempatkan keluarga sebagai prioritas nomor satu. Dia kerap membawa anak-anaknya ikut dalam safari dakwah. Tidak lupa pula untuk mengajak keluarganya berlibur, memanfaatkan beberapa hari atau sepekan yang luang. Pernah suatu ketika, mereka liburan ke Yogyakarta. KH Zainuddin MZ sendiri mengemudikan mobilnya dari Jakarta.
Penceramah ini tidak pernah surut cintanya dengan istrinya, Hajjah Siti Kholilah. Keduanya bertemu sejak masih remaja dan menikah pada 1972. Hingga ajal menjemputnya pada 2011, KH Zainuddin MZ tidak pernah berpaling ke lain hati alias berpoligami.
Isteri almarhum KH Zainuddin MZ, Kholilah (kanan), berdoa di dekat jenazah KH Zainuddin MZ di rumah duka, kawasan Gandaria, Jakarta Selatan, Selasa (5/7).
Pasangan suami-istri ini dikaruniai lima orang anak, yakni Fikri Haykal, Muhammad Luthfi, Muhammad Fahmi (wafat saat usia tiga tahun), Ahmad Syauqi, dan Muhammad Zaki.
Pada 5 Juli 2011, kabar duka datang tiba-tiba. KH Zainuddin MZ menghembuskan nafas terakhir.
Beberapa jam sebelumnya, pemilik nama lengkap Zainuddin Hamidy Turmudzi itu masih sempat sarapan pagi di rumahnya di bilangan Gandaria, Jakarta Selatan. Dia ditemani seperti biasa oleh istri dan anak-anaknya.
Namun, tak lama kemudian, sang kepala keluarga itu pingsan. Istri dan anak-anaknya segera membawanya ke RS Pusat Pertamina, Jakarta.
Sayang, dokter di IGD setempat menyatakan mubaligh tersebut sudah meninggal dunia tepat pukul 09.20 WIB. Penyebab kematiannya dipastikan serangan jantung.
Sesudah mendapatkan kabar ini, para peziarah berduyun-duyun datang ke rumah duka. Mereka dari pelbagai penjuru. Jumlahnya mencapai ribuan. Mulai dari para tokoh nasional, sesama rekan pendakwah, hingga warga biasa.
Kesedihan menyeruak. Ada rasa kehilangan yang amat dalam karena salah seorang dai terbaik di negeri ini telah pergi ke haribaan Tuhannya.
Lautan manusia mengantar pemakamannya. Alunan doa, takbir, dan tahlil tak henti mengalir dari mulut mereka yang mengiringi jenazah sang kiai. Jasadnya dikebumikan di halaman belakang Masjid Fajrul Islam, yang terletak di seberang rumah pribadi almarhum di Jakarta.
Keluarga dan kerabat berdoa di dekat jenazah KH Zainuddin MZ di rumah duka, kawasan Gandaria, Jakarta Selatan, Selasa (5/7).