REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tegaknya dakwah Islam di Aceh tidak lepas dari peran ulama-ulama besar sejak berabad-abad silam. Di antara mereka yang jasa-jasanya tidak lekang zaman adalah Syekh Abdur Rauf as-Singkili (1035-1105 Hijriah / 1615-1693 Masehi).
Dialah penerjemah Alquran pertama ke dalam bahasa Melayu, yakni kitab tafsir Tarjuman al-Mustafid. Namanya juga dikenang sebagai sastrawan, sufi, dan guru yang kharismatik bagi para pendakwah Islam dari generasi berikutnya. Mereka kemudian menyebarkan agama ini ke berbagai penjuru Nusantara.
Seperti tampak dari gelarnya, Syekh Abdur Rauf lahir di Singkel, yang kini merupakan sebuah kecamatan di Aceh bagian selatan. Nama lengkapnya adalah Abdur Rauf bin ‘Ali al-Jawi al-Fansuri as-Singkili.
Liaw Yock Fang dalam Sejarah Kesusastraan Melayu Kelasik (2011) menyebutkan, riwayat hidup tokoh tersebut tidak banyak terekam dalam beragam historiografi yang sampai abad modern. Sepanjang yang diketahui, ayahanda Abdur Rauf bernama Syekh Ali, yakni seorang ulama Arab. Sementara itu, ibundanya berasal dari Fansur alias Barus, yang kini sebuah kota kecil di pantai barat Sumatra antara Singkil (Aceh) dan Sibolga (Sumatra Utara).
Barus termasuk dalam golongan kota-kota kuno yang terkenal di seluruh dunia. Pamornya terbangun berkat kekayaan hasil buminya, seperti kamper, kemenyan, dan emas. Bahkan, seperti dijelaskan Prof Abdul Hadi WM dalam Cakrawala Budaya Islam (2016), pembuatan mumi Firaun pada era Mesir Kuno memakai kamper dari Barus.
Bagi para pemerhati sejarah Melayu Islam, Barus juga dikenali lewat riwayat tokoh-tokoh keagamaan dari abad ke-16 dan ke-17. Selain Syekh Abdur Rauf, nama-nama yang terkemuka dari generasi pendahulunya adalah Syekh Hamzah Fansuri, Ali Fansuri, Hasan Fansuri, dan Abdul Jamal.
Shaleh Putuhena dalam Historiografi Haji Indonesia (2007) menggolongkan Syekh Abdur Rauf ke dalam kelompok haji perantau penuntut ilmu. Pada masa mudanya, dia pertama-tama belajar agama dan bahasa Arab dari ayahnya sendiri.
Selanjutnya, Abdur Rauf yang beranjak remaja pergi ke Fansur dan Banda Aceh untuk meneruskan pendidikan. Tidak diketahui sepenuhnya, siapa saja gurunya di kota-kota tersebut.
Satu hal yang pasti, Aceh pada saat itu dipimpin Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Kesultanan ini melindungi perkembangan pemikiran Islam yang cenderung heterodoks, seperti dicetuskan Hamzah Fansuri dan kemudian Syamsuddin as-Sumatrani.
Baca juga:
- Syekh Abdur Rauf as-Singkili, Guru Ulama-ulama Nusantara (2)
- Syekh Abdur Rauf as-Singkili, Guru Ulama-ulama Nusantara (3)