REPUBLIKA.CO.ID, DOHA -- Menteri Luar Negeri Qatar Mohammed bin Abdulrahman Al-Thani perang melawan terorisme di Timur Tengah terhambat akibat perselihan antara negara-negara di kawasan tersebut. Kondisi tersebut belum memperlihatkan indikasi akan berubah menjadi lebih baik.
"Kami melihat peningkatan polarisasi regional dan ini semakin hari semakin meningkat, terutama di kawasan Timur Tengah. Sayangnya, polarisasi ini meningkat secara diplomatis," ujar Al-Thani saat menghadiri konferensi keamanan di Munchen, Jerman, Sabtu (16/2), dikutip laman Sputnik.
Meskipun saat ini kekuatan ISIS semakin melemah, namun menurut Al-Thani, hal itu tidak menjadi jaminan bahwa terorime telah benar-benar lenyap. "Ada wilayah (yang) telah dibebaskan, tapi ISIS atau terorisme belum dikalahkan, karena ideologinya masih ada," kata dia.
Menurut Al-Thani, penyebab utama krisis juga belum ditangani secara komprehensif. Qatar mengaku siap bekerja sama dengan negara-negara, terutama di Timur Tengah, guna mengatasi masalah tersebut.
Pernyataan Al-Thani muncul saat krisis Teluk masih berlangsung. Qatar diketahui telah diblokade dan diboikot oleh Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab, dan Bahrain sejak Juni 2017.
Saudi dan sekutunya menuding Qatar mendukung kelompok-kelompok teroris di kawasan. Doha telah secara tegas membantah tuduhan tersebut.
Keempat negara itu kemudian mengajukan 13 tuntutan kepada Qatar. Tuntutan itu harus dipenuhi bila Qatar ingin terbebas dari blokade dan boikot.
Tuntutan itu antara lain meminta Qatar memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran, menghentikan pendanaan terhadap kelompok teroris, dan menutup media penyiaran Aljazirah. Qatar telah menolak memenuhi tuntutan tersebut karena dianggap tidak logis.
Pada Januari lalu Al-Thani menyatakan negaranya siap melakukan dialog tanpa prasyarat dengan Saudi dan sekutunya guna mengakhiri krisis Teluk. "Qatar siap memasuki dialog tanpa prasyarat. Tapi dialog berarti bahwa kedua belah pihak harus berkomitmen untuk menemukan solusi," katanya.