REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Manusia adalah salah satu ciptaan Allah SWT. Bahkan, itulah makhluk yang terpuji, sebagaimana Sang Pencipta telah menegaskan dalam surah at-Tin ayat keempat, yang artinya, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
Manusia tidak ada habis-habisnya dibicarakan dari berbagai sisi. Untuk mengungkap kesejatian manusia, dapat dilihat dari cara-cara Alquran memandang makhluk itu, yang bertugas sebagai “khalifah Allah di muka bumi” (QS al-BAqarah: 30).
Seperti dijabarkan Prof Yunahar Ilyas dalam bukunya, Tipologi Manusia Menurut Al-Qur’an (2007, Labda Press), Kitabullah itu menyebut manusia dengan istilah yang berbeda-beda. Istilah basyar disebut 35 kali dalam bentuk mufrad dan sekali dalam bentuk mutsanna. Sebutan al-ins sebanyak 18 kali. Al-insan, 65 kali. an-nas, 240 kali. Bani Adam, tujuh kali. Terakhir, dzuriyah Adam sebanyak satu kali.
Kata basyar berasal dari akar kata yang berarti 'penampakan sesuatu dengan baik dan indah.' Dari sanalah, lahir kata lain, yakni basyarah yang berarti 'kulit.' Dengan demikian, manusia disebut sebagai basyar lantaran kulitnya tampak jelas, empiris, serta berbeda daripada kulit binatang atau tumbuhan.
Dalam Alquran, sebutan basyar mengindikasikan, manusia sebagai makhluk biologis. Dia memerlukan makanan, minuman, dan sebagainya. Dalam pengertian ini, tidak ada perbedaan, misalnya, antara orang baik dan buruk karena penilaiannya sebatas fisik saja. Hal itulah yang mendasari antara lain argumen Kaum 'Ad.
Mereka menolak dakwah Nabi Hud AS karena menganggap utusan Allah itu sama saja dengan mereka, tidak ada keistimewaan dari segi fisik.
Kisah mereka diabadikan Alquran surah al-Mu`minun ayat ke-33, yang artinya, "Dan berkatalah pemuka-pemuka yang kafir di antara kaumnya dan yang mendustakan akan menemui Hari Akhirat (kelak) dan yang telah Kami mewahkan mereka dalam kehidupan di dunia: '(Orang) ini tidak lain hanyalah manusia(basyarun) seperti kamu, dia makan dari apa yang kamu makan, dan meminum dari apa yang kamu minum."
Begitu pula kaumnya Nabi Nuh AS. Alquran surah Hud ayat ke-27 telah menceritakan kisah mereka. Terjemahan ayat itu, "Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: "Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami (basyaran mitslana), dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta."
Dua kaum tadi hanya mengulang-ulang perspektif musuh abadi manusia: iblis. Ingat lagi kisah bagaimana bekas hamba Allah yang taat itu menunjukkan kesombongannya ketika diperintahkan sujud menghormat kepada Nabi Adam oleh Allah SWT. Dalam surah al-Hijr ayat ke-33, Allah Ta'ala mengabadikan kata-kata iblis, yang mengklaim secara fisik dirinya lebih unggul. Terjamahan ayat itu, "Berkata Iblis: 'Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia (basyarin) yang Engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.'"
Baca juga: Bagaimana Alquran Memandang Manusia? (2)
Sampai poin ini, menurut Yunahar, itulah hikmah yang hendak disampaikan. Memang, manusia memiliki rupa fisik, tetapi aspek penilaiannya tidak mungkin berhenti di sana. Seorang nabi, misalnya, memiliki kualitas-kualitas tertentu yang menyebabkannya unggul. Keunggulan yang tidak mau diakui para pembangkang, entah itu dari kalangan sesama manusia atau jin.