REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mas Mansur akhirnya mendapatkan kesempatan besar. Pada 1908, dalam usia 12 tahun, dia berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji.
Tidak hanya itu, inilah dimulainya rihlah keilmuan. Dia memutuskan menetap di Tanah Suci sekaligus untuk melanjutkan pendidikan.
Dalam hal ini, Mas Mansur ditemani KH Muhammad dan KH Hasbullah. Orang tuanya sendiri mengharapkan, Mas Mansur sesampainya di Haramain dapat belajar pada KH Mahfudz Termas. Sosok itu merupakan ulama Jawi terkemuka di Masjidil Haram. Namanya merujuk pada lembaga tempatnya berasal, yaitu Pondok Pesantren Termas, Jawa Tengah.
Namun, situasi politik di Haramain lama-kelamaan tak menentu. Orang-orang non-Arab terpaksa hijrah dari Makkah. Mas Mansur memutuskan untuk pergi ke Kairo, Mesir. Padahal, ketika itu dia belum sempat mengabarkan kepada orang tuanya tentang kepindahan ini.
Untuk diketahui, ayahnya (KH Mas Ahmad Marzuki) beranggapan, Kairo adalah kota besar yang sarat maksiat karena telah dirasuki ekses budaya Barat. Bila Mas Mansur masih ingin tinggal di Kairo, ayahnya enggan membiayai kesehariannya. Di satu sisi, hal itu mungkin sebagai "peringatan" bagi Mas Mansur. Akan tetapi, di sisi lain, keputusan itu juga dapat menjadi sarana baginya belajar mandiri.
Toh Mas Mansur saat itu tidak melihat alternatif lain untuk meneruskan pendidikan setelah situasi Haramain kurang kondusif. Hanya ada Kairo di matanya.
Maka selama bermukim di ibu kota Mesir itu, Mas Mansur menjalani hidupnya dengan sederhana dan penuh disiplin.
Selama satu tahun pertama dia tidak lagi mendapatkan kiriman uang dari orang tuanya. Maka, dia kerap berpuasa sunnah dan bermalam di masjid-masjid untuk memeroleh ketenangan. Di samping itu, dia juga bekerja atau mendapatkan bantuan dari kenalan.
Sesudah masa satu tahun itu, orang tuanya akhirnya memberikan pengertian. Mereka kembali membiayai keperluan sehari-hari Mas Mansur di tanah rantau.
Di Universitas al-Azhar, Mas Mansur belajar antara lain pada Syekh Ahmad Maskawih. Dia termasuk kelompok mahasiswa yang mengalami pertumbuhan ide-ide modernisme dan nasionalisme di Asia Barat.
Mas Mansur memanfaatkan kesempatan belajar dua tahun lamanya di Mesir ini untuk membaca sebanyak-banyaknya literatur. Pada 1915, Mas Mansur kembali ke Tanah Air dari Makkah dengan terlebih dahulu singgah satu tahun lamanya.