REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada 1921, KH Mas Mansur bergabung dengan Muhammadiyah. Sebelum adanya cabang Muhammadiyah di Surabaya, hubungan antara KH Mas Mansur dan KH Ahmad Dahlan terjalin dengan amat baik.
Saat berdakwah di Surabaya, KH Ahmad Dahlan kerap menginap di rumah keluarga KH Mas Mansur. Untuk diketahui, Surabaya pada masa itu merupakan “dapur nasionalisme” yang menumbuhkan semangat kebangsaan. Ceramah-ceramah KH Ahmad Dahlan di sana kerap dihadiri para tokoh nasionalis muda, semisal Sukarno dan Roeslan Abdul Gani.
Pengaruh Muhammadiyah di Surabaya kian besar berkat upaya-upaya dari KH Mas Mansur. Pada awalnya, dia menjabat sebagai ketua cabang Muhammadiyah Surabaya dan lalu konsul Muhammadiyah untuk wilayah Jawa Timur.
Selanjutnya, dia ditarik ke pusat Muhammadiyah. Sebagai hasil dari Kongres Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta pada 1937, KH Mas Mansur menerima amanah sebagai ketua umum untuk periode 1937-1943.
Amanah itu lebih sebagai sintesis dari pertentangan yang sempat terjadi antara golongan tua dan golongan muda di dalam tubuh Muhammadiyah. Dalam kongres tersebut, golongan muda Muhammadiyah merasa organisasi itu terlampau didominasi kepentingan golongan tua, yang diwakili tiga tokoh senior yakni KH Hisyam selaku ketua pengurus pusat, KH Mukhtar selaku wakil ketua, dan KH Syuja’ sebagai ketua bagian Penolong Kesengsaraan Umum (PKU) Muhammadiyah.
Untuk meredam kekecewaan golongan muda, dalam muktamar ke-26 Muhammadiyah, ketiga sosok sepuh ini dengan ikhlas bersedia mengundurkan diri dari pencalonan ketua umum.
Selanjutnya, nama Ki Bagus Hadikusumo diusulkan menjadi ketua umum tetapi yang bersangkutan menolaknya. Demikian pula dengan KH Hadjid. Akhirnya, tawaran diajukan kepada KH Mas Mansur dari Surabaya yang pada mulanya menolak.
Namun, setelah berdialog dengan intens dan melihat situasi dalam organisasi itu sendiri, KH Mas Mansur pun bersedia mengemban amanah itu. Dalam kepemimpinannya, pengurus pusat Muhammadiyah lebih memberi ruang pada kiprah golongan muda yang mumpuni dan berkemajuan.
Kala Memimpin Muhammadiyah
KH Mas Mansur merancang 12 kebijakan yang dirangkumnya dalam Langkah Muhammadiyah 1938-1949. Salah satunya adalah mengimbau para pengurus Muhammadiyah supaya lebih memanfaatkan kantor Muhammadiyah untuk membahas urusan-urusan terkait organisasi ini.
Sebelum era KH Mas Mansur, para pimpinan kerap melakukan hal itu di rumah masing-masing, meskipun Muhammadiyah telah memiliki kantor dan jajarannya. Namun, kebijakan KH Mas Mansur ini tidak lantas membatasi silaturahim biasa antara tokoh-tokoh yang ingin mengunjungi kediaman pimpinan Muhammadiyah.
Kebijakan lainnya dari KH Mas Mansur terkait dengan ekonomi. Dalam kepemimpinan dialah Muhammadiyah memfatwakan bahwa hukum bank adalah haram, tetapi diperkenankan atau dimaafkan sejauh dalam keadaan yang memaksa.
Alasan di balik ini, KH Mas Mansur melihat umat Islam dalam situasi yang memprihatinkan, dengan tetap memerhatikan bahwa bank dengan sistem bunganya berpeluang pada riba.