REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- KH Mas Mansur juga tidak lepas dari dunia politik-pergerakan. Memang, sebelum terjun ke Muhammadiyah, dia telah menjalani serangkaian aktivitas untuk memperjuangkan kepentingan umat Islam melalui jalur politik.
Pada zaman akhir pemerintah kolonial Belanda, KH Mas Mansur merupakan salah satu pencetus Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI). Demikian pula dengan Partai Islam Indonesia, yang digagasnya bersama dengan Dr Sukiman.
Ketika Jepang menggantikan kekuasaan Belanda atas Nusantara, ketokohan beberapa sosok kaliber nasional dimanfaatkan. KH Mas Mansur termasuk di antaranya. Bersama dengan Sukarno, Mohammad Hatta, dan Ki Hadjar Dewantara, dia didaulat membentuk Empat Serangkai.
Namun, akhirnya Kiai Mas Mansur mundur dari Empat Serangkai. Beberapa sumber menyebut, hal itu sebagai protesnya terhadap kekejaman Jepang terhadap orang-orang Indonesia.
Posisinya di Empat Serangkai digantikan Ki Bagus Hadikusumo. Sebagai informasi, meskipun Jepang membentuk Empat Serangkai, tokoh-tokoh Indonesia saat itu memandang lembaga itu dari perspektif berbeda.
Empat Serangkai dan banyak organisasi lainnya dimanfaatkan mereka untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia kelak. Begitu mundur dari Empat Serangkai, KH Mas Mansur hendak kembali ke Surabaya.
Setelah Indonesia Merdeka
Saat kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, gelombang semangat meliputi seluruh orang di Tanah Air. Mulai dari akar rumput hingga pimpinan negara.
KH Mas Mansur memimpin barisan pemuda yang melawan militer Belanda. Saat itu, Belanda menumpang rombongan NICA yang datang ke Indonesia dengan tujuan membawa pulang tentara Sekutu yang ditahan Jepang di Indonesia.
Pertempuran pun terjadi antara tentara pejuang Indonesia dan tentara Belanda/NICA. Saat itulah, KH Mas Mansur ditangkap pihak musuh dan ditahan. Pada 25 April 1946, KH Mas Mansur wafat di dalam tahanan. Kini, nama tokoh Muhammadiyah itu telah diakui sebagai seorang pahlawan nasional RI.
Sepanjang hayatnya, KH Mas Mansur telah menikah dengan Siti Zakiyah dan dikaruniai enam orang anak. Selanjutnya, dia juga menikah dengan Halimah, meskipun hanya dua tahun lamanya karena pada 1939 istrinya itu wafat.