REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berita bohong (hoaks) dan ujaran kebencian (hate speech) di media sosial (medsos) maupun media konvensional memiliki dampak yang luar biasa di masyarakat. Dampak negatifnya memang sangat besar karena bisa memecah belah masyarakat terutama jelang Pilpres 2019, namun di dunia pers, hoaks harus dijadikan berkah untuk mengembalikan marwah media mainstream sebagai sumber informasi terpercaya.
“Saya kira berkembangnya hoaks ini bagi media mainstream sebenarnya sebuah berkah juga. Artinya masyarakat bisa terbukakan matanya mana sebenarnya pers yang professional dan mana pers yang tidak professional,” ujar Ketua Dewan Pengawas Forum Pemred Suryopratomo di Jakarta, akhir pekan lalu.
Menurut Tommy, panggilan karib Suryopratomo, kondisi ini menjadi tantangan bagi media mainstream bagaimana meningkatkan kualitas dan profesionalisme dalam membuat berita. Itu harus dilakukan dan bukan hanya dengan menerapkan prinsip-prinsip jurnalisme yang harus dipenuhi, tetapi juga kedalaman investigasi dalam mencari kebenaran jurnalistik.
Ia menilai, berita itu bukan hanya sekadar untuk memuaskan para pembuat beritanya, tetapi juga harus memberikan manfaat kepada masyarakat sehingga terbuka informasi dan wawasannya, serta bisa mengerti duduk perkaranya.
“Itulah tantangan pers di media mainstream di tengah menjamurnya media online. Kalau media atau pers bisa mempertahankan tantangan itu dan meningkatkan kemampuan profesionalismenya maka lama-lama akan meningkat lagi kepercayaan publik terhadap media mainstream itu,” jelas Tommy.
Dengan demikian, ia menegaskan bahwa keberadaan medsos jangan dilihat sebagai ancaman, pun juga jangan dipandang medsos akan menggantikan peran media mainstream. Dalam pandangannya, sepanjang medsos itu tidak bisa melakukan verifikasi sehingga tidak mampu memberikan informasi yang berkualitas.
“Kita ini hidup di era teknologi informasi dimana semua orang butuh informasi, tetapi mereka butuh informasi yang berkualitas. Inilah saya kira tanggung jawab dari pers sekarang ini,” ujar mantan pemimpin redaksi sebuah surat kabar di Indonesia ini.
Ia menambahkan, pers harus memegang prinsip untuk melakukan verifikasi dan bukan sekadar unsur kecepatan saja dalam membuat berita. Namun pers harus bisa membuat berita cepat dan benar sebagai unsur paling dasar dari jurnalistik. Dan itu harus terus dipegang teguh.
Tommy memperkirakan dunia pers akan terus berkembang dan masyarakat juga akan terus membandingkan antara media mainstream dan medsos. Selain itu masyarakat juga tidak mau dengan media yang begitu-begitu saja, tetapi harus ada sesuatu yang baru. Karena itu, pelaku media harus lebih inovatif, kreatif, bahkan harus tahu bagaimana cara menyampaikannya.
“Sekali lagi, prinsip-prinsip dasar jurnalistik itu tidak akan pernah berubah. Jadi kebenaran, akurasi, itu tidak akan pernah berubah. Zaman boleh berubah , tetapi prinsip-prinsip jurnalistik itu yang harus kita pertahankan dan pegang teguh,” tegasnya.
Ia menjelaskan bahwa berita yang baik itu adalah berita yang terverifikasi dengan benar dan memiliki basis data yang kuat serta logikanya jalan dan memberikan sesuatu bermanfaat bagi pembaca atau pemirsanya. Itulah yang sebenarnya menjadi kekuatan media pers dan mainstream.
Namun ia tidak menyangkal, saat ini yang terjadi sekarang media mainstream justru terbawa arus oleh medsos. Bahkan medsos dijadikan agenda setting media mainstream dalam mengembangkan berita
“Itu kan terbalik. Mereka itu kan sekadar mendengar lalu mereka naikkan. Kalau di media mainstream media kan bukan sekedar upload atau naik, tetapi 5 W 1 H itu kan yang diperhatikan. Bukan sekedar who and why, tetapi so what, untuk apa peristiwa itu yang menjadi berita harus ada manfaatnya untuk pemirsa dan pembacanya,” papar Tommy.
Untuk itulah, Tommy mengajak kembali menjadi pers atau wartawan yang baik karena wartawan adalah pekerjaan yang suci dan wartawan bekerja dalam ketakutan dan kegelisahan. Bukan takut karena tantangan, tetapi takut karena tidak bisa memberikan informasi yang berkualitas.
“Mari kita bangun informasi-informasi yang berkualitas. Kita lihat seperti di Amerika, dimana sekaranag ini surat kabar seperti New York Times kembali menemukan jati dirinya dengan oplah menjadi tinggi tinggi lagi. Mengapa? Karena orang akan mencari informasi yang berkualitas dan bermanfaat bagi dia. Inilah sebenarya PR yang harus kita lakukan bagi media atau pers,” kata Suryopratomo.