REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Media pemerintah Cina mengatakan sekarang turis asal negeri itu lebih sedikit mengunjungi Selandia Baru setelah keputusan melarang perusahaan telekomunikasi Cina Huawei beroperasi di sana tahun lalu.
Artikel yang diterbitkan oleh media milik pemerintah China Global Times menyebut bahwa turis Cina mulai mempertimbangkan rencana untuk tidak mengunjungi Selandia Baru. Hal itu sebagai bentuk 'hukuman' setelah perusahaan HP Spartk dilarang menggunakan peralatan Huawei dalam penerapan teknologi 5G.
Disebutkan juga bahwa hubungan politik kedua negara sekarang mengalami 'ketegangan."
"Ini mirip seperti perampokan?", kata seorang pekerja di Beijing bernama Li yang menyebut diri sebagai 'patriot' di dalam artikel tersebut.
"Selandia Baru menikam kita dari belakang, namun masih mau uang kita? Ini sama seperti bermuka dua."
Robert Ayson, Profesor kajian strategis di Victoria University of Wellington, mengatakan kepada ABC bahwa Cina sedang menunjukkan sikap mengenai pelarangan Huawei. Dia menggambarkan Huawei sebagai 'wajah terdepan Cina dalam hal keunggulan di bidang teknologi informasi' sehingga menerima teknologi tersebut berarti menerima 'kebangkitan teknologi Cina."
Cina merupakan pasar besar bagi turis yang mengunjungi Selandia Baru, dengan jumlah diperkirakan akan naik dua kali lipat pada 2023, dengan sekitar 913 ribu turis berkunjung setiap tahunnya. Minggu lalu, Beijing memutuskan menghentikan perjanjian kemitraan pariwisata yang diberi julukan "China-New Zealand Year of Tourism", yang diperkirakan akan menyumbang sekitar 2,5 miiliar dolar AS per tahun selama empat tahun.
Kemitraan itu sudah dipersiapkan selama setahun, dan digambarkan sebagai kesempatan bagi kedua negara untuk 'memperkuat hubungan ekonomi lewat pariwisata.'
Beijing sudah pernah menggunakan turis sebagai alat penghukum sebelumnya
Beijing sebelumnya sudah pernah mengunakan turis sebagai alat penghukum ketika mereka melarang paket tur yang dijalankan negara guna mengunjungi Palau di Pasifik pada 2017. Hal itu karena kemungkinan negara tersebut memiliki hubungan dengan Taiwan.
Cina juga melarang para turis mereka berkunjung ke Korea Selatan beberapa bulan sebelum Olimpiade Musim Dingin tahun 2018 karena penempatan sistem anti-rudal yang didukung oleh Amerika Seerikat. Kedua boikot memberi pengaruh besar bagi perekonomian kedua negara.
Cina adalah mitra dagang terbesar Selandia Baru. Turis Cina adalah yang kedua terbesar setelah Australia.
Dr Ayson mengatakan kepada ABC bahwa Beijing bisa melakukan lebih banyak lagi untuk menghukum Selandia Baru bila mereka menghendaki.
"Pariwisata adalah sesuatu yang bisa dimulai dan dihentikan tanpa harus membuat hubungan menjadi buruk dalam jangka panjang. " katanya.
"Saya kira tekanan yang terlalu berlebihan akan menjadi kontra produktif bagi Cina dan saya kira Beiijing sadar dengan hal tersebut."
Menurut Dr Ayson, walau Beijing sudah menunjukkan ketidaksenangannya tidak hanya 'lewat kata-kata' namun Cina belum mengeluarkan Selandia Baru dari daftar negara dengan Status Destinasi Yang Disetujui (ADS). Hal itu mungkin menunjukkan Beijing masih ingin melakukan hubungan diplomatik positif dengan Wellington.
ADS sudah menjadi alat diplomatik bagi Beijing dan keputusan atas ADS ini bisa berdampak penting. Sebuah negara dengan status ADS akan memungkinan agen perjalanan milik pemerintah Cina mengirim tur-tur resmi yang sangat mempengaruhi jumlah turis yang datang.
"Cina mungkin berharap bahwa dalam kasus Selandia Baru tekanan yang dilakukan saat ini akan membuat Selandia Baru berpikir lagi mengenai apa yang sudah diperbuat." kata Dr Ayson.
"Saya kira Cina tidak ingin sepenuhnya menghentikan hubungan dengan Australia dan Selandia Baru meski hubungan itu tidak sepositif seperti sebelumnya."
Lihat berita selengkapnya dalam bahasa Inggris di sini