REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selama delapan tahun, Mahmud Yunus memeroleh penguatan agama di madrasah surau Tanjung Pauh, Nagari Sungayang, yang di bawah pimpinan HM Thaib Umar (lahir 1874). Boleh dibilang, inilah periode pertama yang mematangkan minatnya untuk menempuh jalan dakwah.
Surau Tanjung Pauh memang cukup mencolok bila dibandingkan dengan yang lain. Beberapa inovasi tampak pada soal jumlah matapelajaran dan metode belajar. Jika umumnya saat itu pelajaran terdiri atas empat subjek, yakni nahwu, sharaf, fiqih, dan tafsir, maka di sini menjadi 12 subjek, yaitu dengan tambahan pada ushul fikih, hadis, mustalah hadis, tauhid, mantiq, ma’ani, bayan, dan badi'.
Thaib Umar menjadi yang paling awal memakai kitab-kitab cetakan (letter press) aksara Arab. Padahal, jamaknya surau-surau di Minangkabau waktu itu terbiasa menggunakan kitab-kitab hasil tulisan tangan.
Kecemerlangan Mahmud Yunus dalam menyerap ilmu-ilmu agama diakui kaum kerabatnya dan para guru. Sekalipun belum akil balig, dia diperbolehkan untuk membimbing sesama kawannya di surau Engku Gadang.
Demikianlah rutinitasnya setiap malam. Adapun pada pagi hingga petang hari, dia belajar di surau Tanjung Pauh. Memasuki usia 16 tahun, sejumlah kitab telah dikuasainya, semisal Al-Mahally, Al-Fiyah ibn Aqil, atau Jam’al Jawami. Dua tahun kemudian, Thaib Umar sudah mempercayakan Mahmud untuk ikut mengajar di madrasah surau miliknya.
Ikut Mendorong Kemajuan
Orang Minangkabau begitu menghayati tradisi merantau. Pada abad ke-19, motifnya tidak semata-mata mencari kekayaan, melainkan juga menuntut ilmu. Kawasan Arab menjadi tujuan favorit para pemuda yang haus perubahan.
Contohnya, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1860/1855-1916), perantau Minangkabau yang sangat sukses di sana. Imam besar Masjidil Haram itu berjasa besar dalam memperkenalkan ide-ide modernisme Islam, sebagaimana yang dicetuskan tokoh-tokoh pemikir dunia, semisal Rasyid Ridha (1865-1935), Muhammad Abduh (1849-1905), dan Jamaluddin al-Afghani (1838-1897).
Banyak di antara para murid Syekh al-Minangkabawi itu di Tanah Suci yang berasal dari Nusantara. Mereka ikut menyebarkan paham tersebut sekembalinya ke daerah asal masing-masing.
Merujuk pada disertasi Taufik Abdullah untuk Cornell University, “School and Politics: the Kaum Muda Movement in West Sumatra (1927-1933)”, sejak permulaan abad ke-20 pergerakan modernisme Islam menyebar luas di Minangkabau.
Baca juga: Prof Mahmud Yunus, Pelopor Pendidikan Modern Islam (3)
Motor penggeraknya adalah kaum ulama setempat yang mengambil inspirasi dari tren intelektual saat itu di Haramain dan Mesir. Mereka bertujuan menerapkan Islam secara murni dan komprehensif (kaffah) sehingga dapat menjadi basis perubahan masyarakat.
Karena mayoritasnya diisi generasi muda, mereka kerap disebut sebagai Kaum Muda, sebagai lawan daripada Kaum Tua yang memegang teguh tradisi keagamaan.