REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam disertasinya, “School and Politics: the Kaum Muda Movement in West Sumatra (1927-1933)”, Taufik Abdullah menjelaskan, Minangkabau pada 1910 terpengaruh perkembangan modernisme yang terjadi di Jawa. Sebab, cukup banyak pemuda perantauan Minang yang meneruskan pendidikan ke sana.
Sarekat Islam (SI) muncul sebagai partai politik pertama di Minangkabau. Keberadaannya tampak “menyatukan” Kaum Tua dan Kaum Muda.
Perintis SI Minangkabau adalah Haji Ahmad dan Syekh Khatib Ali (1858-1936), dua pemuka Kaum Tua. Sementara, mayoritas anggota partai itu diisi para ulama dan cendekiawan Kaum Muda.
Beberapa di antara mereka adalah guru di sekolah-sekolah dasar resmi Belanda untuk kaum Pribumi (Hollandsch-Inlandsche School/HIS). Baru tiga bulan berdiri, SI Minangkabau retak.
Taufik menyebut, pecahnya organisasi ini lantaran masing-masing kubu ternyata tidak sejalan dalam memahami makna salah satu ciri modernisme, kemajuan (progress). Sejak saat itu, Kaum Muda tampil lebih cekatan.
potret rapat para anggota Sarekat Islam
Awal Aktivisme Mahmud Yunus
Di Sumatra Barat, DR Abdullah Ahmad (1878-1933) mendirikan Madrasah Adabiyah dengan persetujuan pemerintah kolonial pada 1909. Dia terbilang sukses menjadikan Padang sebagai pusat pergerakan modernisme Islam.
Tiga tahun berikutnya, Syekh Abdul Karim Amrullah alias Inyiak Rasul (1879-1945), yang juga pernah berguru pada Syekh al-Minangkabawi selama di Makkah, membentuk Sumatra Thawalib di Padang Panjang. Benih pendidikan modern itu adalah Surau Jembatan Besi yang muncul terlebih dahulu pada akhir abad ke-19.
Di tengah dinamika itulah, Mahmud Yunus mengawali kehidupan intelektualnya. Pada 1919, para alim ulama Minangkabau menyelenggarakan sebuah rapat akbar di Padang Panjang yang beragenda memantapkan gerakan modernisme Islam.
Mahmud ikut mewakili gurunya. Serta merta, dia tertarik untuk sehaluan dengan gerakan tersebut. Hadir dalam pertemuan tersebut antara lain duo penyandang doktor honoris causa dari Universitas Al-Azhar (Mesir), Abdullah Ahmad dan Inyiak Rasul (ayahanda Buya Hamka, yang kelak juga meraih gelar yang sama).
Sesudah itu, Mahmud Yunus terlibat aktif dalam Sumatra Thawalib dengan menjadi pemimpin redaksi majalah Al-Basyir di Sungayang. Dia bercita-cita melanjutkan pendidikan ke Mesir, terutama setelah membaca surat kabar Al-Manar yang diterbitkan Rasyid Ridha.
Untuk mewujudkan mimpinya ini, jalan yang paling mungkin adalah melalui bantuan pamannya, H Ibrahim Dt Sinaro Sati. Dalam adat Minangkabau, seorang laki-laki bertanggung jawab untuk membesarkan anak-anaknya sendiri dan sekaligus membimbing adik-adik serta kemenakan-kemenakannya.
Dalam budaya Minang, keharusan demikian tercermin dalam pepatah-petitih “Kaluak paku kacang balimbiang/Tampurung lenggang-lenggangkan//Anak dipangku kamanakan dibimbiang/Orang kampuang dipartenggangkan.”
Apalagi dalam hal ini, Dt Sinaro Sati termasuk pengusaha yang kaya raya. Apalagi, sebagai mamak dia memang menyayangi keponakannya itu yang gemar bertungkus lumus mendalami ilmu-ilmu agama.