REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkembangan Normal Islam School didukung rekan-rekan Mahmud Yunus sesama pengajar. Di antara mereka banyak yang bergabung ke dalam Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI). Ciri-cirinya, berwawasan progresif dan--sebagaimana Kaum Muda--menghendaki modernisme Islam berkembang di Minangkabau dan Nusantara umumnya.
Di sekolah ini, para murid tidak hanya ditempa pendidikan agama Islam, melainkan juga bahasa Arab, bahasa Belanda, bahasa Inggris, kesusastraan, sains, ilmu dagang (ekonomi), sejarah, dan pedagogi.
Matapelajaran bahasa Arab menjadi perhatian khusus bagi Mahmud Yunus. Sebelumnya, banyak madrasah yang mengajarkan bahasa Alquran itu secara dikte (halaqah), sehingga para murid hanya menyimak apa-apa yang diujarkan gurunya serta mencatat seperlunya.
Bagi Mahmud, metode ini kurang mampu mendorong mereka untuk aktif berbahasa Arab. Guru-guru juga sukar untuk memetakan kemampuan anak didiknya, lantaran jarang mempraktikkan kemampuan berbahasa yang dimiliki. Apalagi, sesi tanya jawab kerap kali terlewatkan selama halaqah.
Baca juga: Prof Mahmud Yunus, Pelopor Pendidikan Modern Islam (4)
Oleh karena itu, Mahmud Yunus merintis metode yang lebih aktif dalam membiasakan para murid untuk berbahasa Arab, sedasar apa pun kemampuan awal mereka. Metode ini mengharuskan mereka selama di Normal Islam School untuk menggunakan bahasa Arab dalam aktivitas sehari-hari,
Kewajiban itu bahkan termasuk di luar kelas pada sore atau malam hari. Hal itu bukan berarti menafikan pengajaran teoretis ilmu-ilmu kunci, terutama nahwu dan sharaf. Menurut tokoh asal Minangkabau itu, para murid dapat dengan cepat menyerap tata bahasa Arab justru melalui pengoreksian atas struktur kalimat yang diucapkan mereka sendiri.