Rabu 20 Feb 2019 19:45 WIB

Berapa Kerugian Negara Jika PNS Korup Belum Dipecat?

Ada pejabat yang nakal sehingga membuat PNS koruptor tak dipecat.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Muhammad Hafil
Koruptor dari kalangan PNS (ilustrasi).
Foto: Dok Republika
Koruptor dari kalangan PNS (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Indonesian Corruption Watch (ICW) membuat laporan ke Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait adanya 1.466 PNS koruptor yang masih digaji negara atau belum dipecat pada Rabu (20/2). Akibat hal tersebut, menurut ICW negara dirugikan miliaran rupiah setiap tahun.

Dalam laporannya, Staf Investigasi ICW, Wana Alamsyah meminta agar BPK menghitung kerugian negara akibat menggaji PNS koruptor tersebut. "ICW mendesak BPK segera melakukan pemeriksaan terhadap instansi yang tercatat belum memecat PNS berstatus terpidana korupsi. BPK harus melakukan langkah menghitung kerugian negara akibat gaji yang telah dibayarkan kepada PNS tersebut," tegasnya di Gedung BPK Jakarta, Rabu (20/2).

Baca Juga

Alamsyah menuturkan berdasarkan surat keputusan bersama (SKB) antara Kemendagri, Kemenpan RB, serta BKN proses pemecatan PNS koruptor seharusnya selesai di akhir 2018. Namun, dalam praktiknya hingga  Januari 2019  dari data BKN per 15 Januari dari 2.357 PNS koruptor itu masih ada 1.466 atau 62 persen yang belum dipecat hingga saat ini. Artinya baru 393 PNS yang diberhentikan tidak dengan hormat.

Lebih lanjut ia menuturkan, perhitungan ICW berdasarkan PP 30 tahun 2015, negara dirugikan Rp 72 miliar setiap tahun lantaran menggaji PNS koruptor. "PNS yang terjerat korupsi itu berada di golongan III, masa kerjanya sekitar 16 dan ditemukan ada Rp 3,5 juta untuk gaji pokoknya saja kalau seandainya kita coba hitung dikalikan dengan 1.466 PNS koruptor itu sekitar Rp 6,5 milliar per bulan, kalau per tahun ada sekitar Rp 72 miliar potensi negara dirugikan akibat menggaji PNS koruptor," jelas Alamsyah.

Adapun, sambung dia, permasalahan pokok hal ini bersumber pada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) yang tidak memberi detil nama dan jabatan 1.466 PNS yang terlibat korupsi. PPK seharusnya memberi data tersebut.

"BKN tupoksinya itu memblokir PNS koruptor, informasinya dari mana? informasinya dari pejabat pembina kepegawaian (PPK) yang mana itu dimandatkan kepada kepala daerah dan menteri atau sekjen di lembaga," terangnya.

Menanggapi laporan tersebut, PLH Kepala Biro Humas dan Kerja Sama Internasional BPK, Rati Dewi Puspita Purba mengatakan akan menganalisa laporan ICW tersebut. Kemudian BPK juva akan koordinasi dengan lembaga terkait.

"Kami harus membaca dulu menganalisis dulu isinya, nanti sesuai kewenangan BPK akan kami proses. Tidak menutup kemungkinan kita melakukan koordinasi dengan Kementrian, lembaga dan instansi terkait," ucap Rati.

Sebelumnya, pada akhir Januari 2019, KPK mengingatkan seluruh pimpinan lembaga negara tak berkompromi dalam memecat PNS yang sudah divonis bersalah dalam kasus korupsi.

"Kami Ingatkan agar kita semua tidak bersikap kompromi terhadap pelaku korupsi. Apalagi yang belum diberhentikan ini adalah mereka yang sudah divonis bersalah," kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah akhir Januari lalu.

"KPK sangat menyayangkan rendahnya komitmen PPK baik di pusat ataupun daerah untuk mematuhi perundang-undanganan yang berlaku tersebut," tambah Febri.

photo
Ribuan PNS koruptor belum dipecat.

Saat ini, sambung dia, KPK sedang terus bekoordinasi untuk memastikan ketidakpatuhan atau hambatan dalam pemberhentian ini. Terlebih sejak 13 September 2018 telah ditandatangani Keputusan Bersama Mendagri, Menpan RB dan Kepala BKN.

"Seharusnya hal ini dipatuhi," tegasnya.

Diketahui, untuk instansi pusat, dari 98 PNS yang divonis bersalah karena korupsi, baru 49 orang yang diberhentikan. Beberapa kementerian  tercatat belum memberhentikan sejumlah PNS yang melakukan korupsi.

Tercatat Kementrian yang belum memecat pegawainya adalah Kementerian PUPR: 9 orang; Kemenristek Dikti: 9 orang; Kementerian Kelauatan dan Perikanan: 3 orang; Kementerian Pertahanan: 3 orang dan Kementerian Pertanian: 3 orang.

Sedangkan Kementerian yang terbanyak memberhentikan PNS terbukti korupsi adalah Kementerian Perhubungan 17 orang dan Kementerian Agama 7 orang. Febri menambahkan, seharusnya Judicial Review yang diajukan ke MK tidak bisa menjadi alasan untuk menunda aturan yang telah jelas tersebut.

"KPK mengimbau agar Pimpinan instansi serius menegakan aturan terkait dengan pemberhentian tidak dg hormat thd PNS yang korupsi tersebut. Karena sikap kompromi terhadap pelaku korupsi, selain dapat mengikis kepercayaan masyarakat thd pemerintah, juga beresiko menambah kerugian keuangan negara karena penghasilan PNS tersebut masih harus dibayarkan negara," tegasnya.

Sementara, Badan Kepegawaian Negara (BKN) mengungkapkan ada sejumlah alasan PNS tervonis korupsi tak kunjung dipecat. Salah satu alasannya kepala daerah mengaku belum menerima salinan putusan dari Mahkamah Agung (MA).

Kepala Biro Humas BKN Mohammad Ridwan mengatakan dari Undang-Undang nomor 5 tahun 2014 tentang ASN disebutkan Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) berwenang mengangkat, merotasi dan menghentikan PNS. PPK di tingkat Kementerian ialah Menteri dan di tingkat daerah yaitu kepala daerahnya. Ia menekankan cepat atau lambatnya pemecatan PNS dalam bentuk pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) tergantung PPK. BKN, kata dia tugasnya mendata PNS tervonis korupsi dan telah inkrah (berkekuatan hukum tetap).

"Persoalan lambat karena PPK mengaku enggak terima salinan amar putusan MA. Makanya kami gandeng MA biar pas sudah inkrah maka salinannya cepat dikasih ke PPK biar ditindak secara administratif," katanya pada Republika.co.id, Senin (28/1).

Menurutnya, wajar bila PPK menunggu adanya salinan putusan MA. Sebab, keputusan PPK berpeluang dituntut di kemudian hari jika tak sesuai dengan hal itu. Sehingga, BKN mengaku akan memperkuat koordinasi dengan MA supaya tiap salinan putusan secepatnya diberikan pada PPK.

"Tanpa salinan itu maka enggak ada dasarnya khawatir bisa di PTUN-kan. PPK akhirnya ragu-ragu, takut salah orang," ujarnya.

Selain itu, ia menyebut adanya PPK yang nakal tak memecat PNS tervonis korupsi. Menurutnya, PPK kerap berdalih kasus yang diterima PNS itu merupakan beban PPK sebelumnya. Kemudian, PPK tersebut yang mayoritasnya kepala daerah enggan melaksanakan pemecatan.

"Ada keengganan PPK, bisa saja anggap problem bupati terdahulu. kok mereka merasa harus membersihkan kesalahan bupati sebelumnya. Tapi ini kewajiban PPK eksisting kapan pun terjadi tipikor," ucapnya.

Tak berhenti di situ, ia mengatakan keputusan memecat PNS tervonis korupsi sering dibenturkan dengan alasan kemanusian. Ia mengungkapkan ada pihak yang membela para PNS tersebut. Padahal menurutnya, pemecatan itu sudah disandarkan hukum yang berlaku. Terlebih lagi, pemecatan semestinya dilakukan 30 hari seusai keluar inkrah dari pengadilan.

"Kami sampaikan unsur kemanusiaan ada dalam putusan hakim sebelumnya. Kalau mau rasa keadilan maka sudah lewat," tegasnya.

Baca juga: Punya Caleg Eks Koruptor Terbanyak, Hanura: Kami Kecolongan

Baca juga: Nasihat Ustaz Abdul Somad untuk Penunda Shalat

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement