REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu sektor yang memiliki angka ketergantungan impor tinggi adalah industri elektronika dan telematika. Angka total impor sepanjang 2018 bahkan mencapai 11 miliar dolar AS. Untuk bisa menekan angka ketergantungan impor komponen ini, perlu ada pertumbuhan industri komponen elektronika dan telematika di Indonesia.
Direktur Industri Elektronika dan Telematika Kemenperin, Janu Suryanto menjelaskan sudah ada beberapa skema insentif dari pemerintah untuk bisa mendorong industri komponen ini tumbuh di Indonesia. Skema insentif perpajakan yang ditawarkan kepada investor, antara lain tax holiday dan tax allowance.
"Industri elektronika nasional masih tergantung dengan bahan baku dan komponen impor. Hingga kini, industri bahan baku dan komponen elektronik belum berkembang. Untuk meningkatkan daya saing dan mengurangi impor, pemerintah memberikan insentif untuk mendorong tumbuhnya industri komponen yang strategis," ujar Janu di Kementerian Perindustrian, Kamis (21/2).
Meski begitu, tantangannya memang tidak mudah. Kasubdit TIK, Direktorat Industri Elektronika dan Telematika, Najamudin menjelaskan untuk bisa membangun industri komponen butuh modal yang besar. Untuk membuat satu pabrik komponen perlu merogoh kocek sekitar Rp 1,5 triliun sampai Rp 5 triliun.
"Memang tantangannya adalah karena investasinya cukup besar, triliunan rupiah. Bisa Rp 1,5 sampai Rp 5 triliun," ujar Najamudin dilokasi yang sama.
Namun, Najamudin menjelaskan Kemenperin akan melakukan beberapa langkah untuk bisa mendorong adanya industri komponen ini. Pertama, menggaet BUMN untuk bisa mengembangkan industri komponen ini. Sebab, kata Najamudin, BUMN cukup mempunyai kekuatan untuk mengakses modal.
"Kalau kemarin ussul bisa gak titip ke BUMN seperti PT Inti, akses modalnya bisa lumayan," ujar Najamudin.
Selain itu, Kemenperin pada tahun ini juga mencoba untuk mengajak salah satu industri telematika asal Taiwan untuk bisa membangun industri komponen di Indonesia. "Tapi ini kan momen ini china sama amerika berantem kan bentar nih, makanya mereka bisa saja mengalihkan bisnis kesini. Disatu sisi kan karena impor bea kan tinggi, maka inisiasi industri komponen itu ada dalam negeri," ujar Najamudin.
Saat ini, jika berbicara tentang industri handphone dan laptop, Indonesia hanya negara perakit. Indonesia masih belum bisa memproduksi ponsel dan laptop buatan dalam negeri karena belum ada industrinnya. Padahal, arus pasar handphone dan laptop ini cukup besar dan menduduki posisi nomor lima di pusaran ekonomi.
Selama ini, kata Najamudin, Indonesia hanya menikmati pendapatan di sektor ini hanya dari bea masuk impor, perpajakan serta TKDN (tingkat komponen dalam negeri).
Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook