REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kesultanan Banten mengawali abad ke-17 dengan keadaan yang cukup payah. Para sultan yang ada seakan tidak berdaya menghadapi infiltrasi Belanda dan Inggris.
Hingga tahun 1609, negeri ini terpecah dalam perang saudara. Kalangan elite dan bangsawan saling berebut kedudukan. Kekacauan itu berakhir ketika Pangeran Ranamanggala naik takhta. Dia menyingkirkan semua pesaingnya.
Ranamanggala juga berambisi mengambil kembali kontrol Banten atas pelabuhan-pelabuhan di pesisir utara Jawa. Bandar-bandar penting itu sedang dikuasai Belanda.
Belanda menjawab ambisi tersebut dengan serangan besar-besaran. Pada 1619, Kompeni menyerang Jayakarta. Dengan pimpinan Jan Pieterszoon Coen, armada Belanda dapat merebut kota strategis ini dari kekuasaan Banten. Kalangan sejarawan menyebut, tanggal 30 Mei 1619 dapat ditetapkan sebagai tonggak awal penjajahan Belanda di Nusantara.
Sejak saat itu, Jayakarta berganti nama menjadi Batavia. Coen memiliki impian besar untuk daerah yang baru saja ditaklukannya itu. Dia ingin Batavia bertransformasi menjadi pusat kendali Belanda atas seluruh Nusantara. “Banten sudah mati, tetapi Batavia akan selalu abadi,” demikian katanya.
Galangan Kapal VOC
Banten Melawan
Sejak medio abad ke-17, Kesultanan Banten bersikap lebih terbuka terhadap kedatangan para pedagang dari pelbagai bangsa Eropa yang ingin mendirikan pos-pos di wilayahnya.
Di antara mereka adalah Belanda, Inggris, Prancis, Denmark, Portugis, dan Spanyol. Tambahan pula, sultan Banten mulai mengirimkan misi diplomatik ke pelbagai negeri Eropa, yang lebih mengenal kerajaan ini dengan sebutan Bantam.
Claude Gullot dalam The Sultanate of Banten merangkum beberapa bukti pengaruh Banten di level internasional, sebagaimana tercermin dalam teks-teks Eropa.
Kebanyakan penulis Barat saat itu menganggap Banten sebagai penguasa seluruh Pulau Jawa. Dalam naskah drama karangan Ben Jonson, The Alchemist (1610), atau karya W Congreve Love for Love (1695), misalnya, negeri Banten digambarkan sebagai latar tempat narasi fiktif itu terjadi.
Hal yang sama juga tampak dari karya-karya Bignon, Aventures d’Abdalla (1712), Aphra Behn The Court of the King of Banten (1685), serta novel Madeleine de Gomez yang berjudul La Princesse de Java.
Baca juga: Sultan Banten Pernah Kirim Surat ke Raja Inggris Charles II, Apa Isinya?
Dalam abad ke-17 pula, Kesultanan Banten mulai giat menjalin kerja sama dengan para pedagang Eropa. Menurut Gullot, syahbandar Banten saat itu mengikuti saran orang-orang Inggris. Banten sedang berupaya mewujudkan armada laut yang lebih efisien dan canggih, sebagaimana dimiliki bangsa-bangsa Eropa.
Sampai akhir 1660-an, sejumlah kapal besar milik Banten dibangun dengan cetak biru dari para perancang Inggris yang bekerja di Rembang. Kapal-kapal lainnya milik Banten dibeli dari perusahaan-perusahaan antara lain dari Jepang.
Ambisi Banten kian nyata untuk berjaya di Samudra Hindia. Bahkan, Gullot menyebutkan, demi meningkatkan relasi perdagangan kesultanan ini mempunyai kedutaan besar di mancanegara, seperti Surat (India) dan London (Inggris).
Baca juga: Geliat Kesultanan Banten Melawan Penjajahan (2)