Kamis 21 Feb 2019 14:48 WIB

Bank Indonesia Pertahankan Suku Bunga Acuan 6 persen

Suku bunga dipertahankan sejalan dengan upaya menurunkan defisit transaksi berjalan.

Rep: Novita Intan/ Red: Friska Yolanda
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memberikan keterangan pers hasil Rapat Dewan Gubernur di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Kamis (17/1/2019).
Foto: Antara/Aprillio Akbar
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memberikan keterangan pers hasil Rapat Dewan Gubernur di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Kamis (17/1/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) memutuskan untuk pertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) di level 6,00 persen, Kamis (21/2). Keputusan itu demi memperkuat ketahanan eksternal dan mempertahankan stabilitas.

Sementara, suku bunga deposit facility tetap sebesar 5,25 persen dan suku bunga lending facility sebesar 6,75 persen. Keputusan tersebut konsisten dengan upaya menurunkan defisit transaksi berjalan ke dalam batas yang aman dan mempertahankan daya tarik aset keuangan domestik.

Baca Juga

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, pihaknya terus menempuh strategi operasi moneter untuk menjaga kecukupan likuiditas, baik di pasar rupiah maupun pasar valas. Hal itu diharapkan dapat mendukung stabilitas moneter dan sistem keuangan. 

"Ke depan, Bank Indonesia akan terus mengoptimalkan bauran kebijakan dan memperkuat koordinasi dengan pemerintah dan otoritas terkait untuk menjaga stabilitas ekonomi dan memperkuat ketahanan eksternal," katanya di Gedung BI. Termasuk, untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan, sehingga turun menuju kisaran 2,5 persen PDB pada 2019. 

Pertumbuhan ekonomi dunia melandai, tapi ketidakpastian pasar keuangan sedikit mereda. Di negara maju, pertumbuhan ekonomi AS 2019 diperkirakan melambat akibat pasar tenaga kerja yang semakin ketat dan dukungan fiskal yang terbatas. 

Stance kebijakan moneter The Fed AS lebih melandai dan diperkirakan menurunkan kecepatan kenaikan suku bunga Fed Fund Rate (FFR). Pertumbuhan ekonomi Eropa juga diperkirakan melambat pada 2019, sehingga dapat pula memengaruhi kecepatan normalisasi kebijakan moneter bank sentral Eropa (ECB). 

Di negara berkembang, pertumbuhan ekonomi Tiongkok terus melambat dipengaruhi oleh melemahnya konsumsi dan ekspor neto. Antara lain, akibat ketegangan hubungan dagang dengan AS dan dampak proses deleveraging yang masih berlanjut. 

Sejalan dengan prospek pertumbuhan ekonomi dunia itu, harga komoditas global diperkirakan menurun, termasuk harga minyak dunia akibat peningkatan pasokan dari AS. Sementara itu, ketidakpastian pasar keuangan sedikit mereda dan mendorong aliran modal ke negara berkembang sejalan dengan lebih rendahnya prakiraan kecepatan kenaikan Fed Fund Rate (FFR) dan berkurangnya eskalasi ketegangan hubungan dagang AS-Tiongkok. 

"Sehingga, kenaikan suku bunga BI tahun lalu dinilai sudah mengover semua kemungkinan yang akan terjadi di masa depan," kata Perry.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement