Jumat 22 Feb 2019 06:29 WIB

Rasyid Ridha, Sang Penyala Api Modernisme Islam (1)

Rasyid Ridha muncul dalam konteks masa transisi abad modern

(ilustrasi) Syekh Rasyid Ridha
Foto: tangkapan layar wikipedia.org
(ilustrasi) Syekh Rasyid Ridha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Transisi dari abad ke-19 menuju 20 merupakan periode yang penting dalam sejarah umat Islam. Itulah masa ketika kaum Muslimin menghadapi dominasi Barat yang begitu merata pada tataran global, mulai dari sains, teknologi, penyebaran agama Kristen, hingga politik.

Ekspansi kolonialisme di Asia dan Afrika sejak abad ke-18 mendesak wilayah-wilayah Muslim kepada situasi yang buruk. Tidak ada jalan keluar bagi umat Islam selain berjuang merebut kembali martabat dan kedaulatan. Oleh karena itu, mulai timbul upaya-upaya mengukuhkan kesadaran kolektif umat Islam sedunia.

Kalangan intelektual Muslim berupaya merumuskan ulang bagaimana perjuangan yang ideal itu. Mereka menawarkan pembaruan (tajdid) dalam pemikiran Islam agar kehidupan umat selaras dengan perkembangan zaman modern.

Salah satu ciri modernisme adalah pengutamaan akal rasional, sesuatu yang kedudukannya sudah diakui dalam agama ini. Mereka berusaha agar umat bebas dari kepercayaan akan takhayul-takhayul dan kembali kepada inti yang murni daripada agama ini.

Itulah konteks waktu ketokohan Rasyid Ridha. Dia merupakan seorang sosok reformis Islam yang terkemuka dalam paruh awal abad ke-20. Perannya diakui bukan hanya dalam bidang pendidikan atau dakwah, melainkan juga jurnalistik dan politik.

Beberapa sumber menyebutkan, pria kelahiran tahun 1865 ini masih keturunan Ali bin Abi Thalib dari garis Imam Husein. Oleh karena itu, gelar ‘sayyid’ sering disematkan pada namanya.

Baca juga: Rasyid Ridha, Sang Penyala Api Modernisme Islam (2)

sumber : Islam Digest Republika
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement